Jumat, 04 April 2014

JOKOWI, BONEKA BERBAJU KOTAK-KOTAK

Frasa ini semakin terkenal dalam hari-hari jelang Pemilu 9 April 2014. Dan cukup kuat untuk memaksa saya keluar dari kursi nyaman, dan menulis lagi. Dipakai oleh politisi tertentu, untuk melawan 'hegemoni' dan 'euphoria' dari kelompok lawan politiknya yang sedang tinggi-tingginya setelah si 'Boneka Kotak-Kotak' digadang menjadi senjata pamungkas untuk memenangkan pemilu.

Saya tidak ada pada euphoria yang sama, dan sangat menyesalkan pragmatisasi politik kaum banteng yang kelihatannya memang 'dipaksa' oleh publik yang memang belum melek politik dan terlanjur bosan dengan penampilan politisi gagah berkarisma, yang hanya elok dipandang mata.
Ini tampaknya adalah era 'immanuel'. Jika Immanuel, sebenarnya berarti 'Tuhan beserta kita, ada disini bersama-sama kita..'; maka 'era immanuel' yang saya maksud adalah era dimana sang pemimpin, sang tuan, melepas mahkotanya, melepas jubahnya, melepas tongkat komandonya, menggulung celananya, dan melompat ketengah-tengah 'umatnya.. kaumnya.. rakyatnya'. Disana dia menggunakan inderanya, meraba, merasa, mendengar, melihat, dan menelisik kesumber bau busuk. Disana dia tidak lagi sekedar mengerti, namun menjadi senasib sepenanggungan. Pemimpin yang seperti ini, mungkin masih akan berdarah-darah, jatuh bangun dan kadang frustrasi dalam mengangkat 'harkat' bangsanya, dalam melaksanakan program-programnya dan mewujudkan janji-janjinya. Abstrak memang, namun 'pemakluman' dan 'sikap sabar menunggu' menjadi pemandangan jamak dimana-mana dari sebagian besar 'kaumnya'. Mereka seolah-olah menjadi orang yang berbeda, tidak bayak menuntut, lebih mahfum, dan lebih menunjukkan dukungan. Memang selalu saja ada para penghujat. Tetapi, bukankah puncak dari sebuah kepemimpinan adalah 'fokus terhadap tujuan' walaupun hujatan turun seperti hujan es? Pencapaian tujuan adalah jawaban terbaik terhadap setiap hujatan. Dan tentunya Penghujat terbaik selalu berhasil menemukan hujatan-hujatan baru.

Era Immanuel seperti ini memang terjadi di ibukota negeri ini. Sedari awal, dampaknya sudah saya perhitungkan, pemimpin itu diseret terlalu cepat kepuncak harapan bangsanya. Akumulasi dari timbunan kekecewaan terhadap satu tipikal pemimpin, dan euphoria terhadap wajah baru kepemimpinan. Lalu muncullah hujatan, si pemimpin dicap sebagai boneka. Boneka ini memilih bajunya sendiri, membeli dan memakaikannya di tubung ringkihnya dan kemudian menjadi symbol, symbol kotak-kotak. Jadilah si Boneka, menjadi symbol perjuangan.

Saya tergelitik menghubungkannya dengan si boneka kayu pinokio, yang dibuat oleh paman Geppeto. Ada masa sukar dan pengalaman sukar yang kemudian 'memproses' si boneka kayu, menjadi seorang anak manusia sesungguhnya. Saya mafhum, apabila si boneka berbaju kotak-kotak berada pada posisi inferior, dibanding 'pembuatnya'. Dia diposisikan sebagai mainan, yang akan menjadi alat penuntas syahwat politik dari seorang pecundang pemilu, begitu pandangan para penghujat. Tetapi mari kita selesaikan kisah Pinokio, si boneka kayu. Pinokio tidak dibuat untuk menjadi mainan. Geppeto bukanlah seorang tua Bangka yang kehilangan masa kecil, lantas bernafsu memiliki boneka mainan. Betul, Geppeto adalah seorang tua Bangka, tua Bangka yang malang, karena dihari tuanya, cukup banyak cita-citanya yang belum terselesaikan. tua Bangka yang malang, yang sadar betul bahwa waktunya semakin singkat, dan dia butuh seorang anak yang akan meneruskan mimpinya, yang akan menemaninya dimasa tuanya, anak yang kepadanya akan dimamahkan semua kisah indah tentang hidup, dan dititipkan segumpal harapan. Mungkin Geppeto si tua Bangka sedemikian putus asanya, karena sampai setua itu, tidak ada anak biologis yang dimilikinya untuk menjawab kerinduan hatinya itu. Dan dimulailah kisah Pinokio. Geppeto mengambil sepotong kayu istimewa, memahatnya dan menjadikannya Boneka, dengan rupa seorang anak. Ketulusan dan kesungguhan Geppeto, menggerakkan hati sang 'peri', memberikan 'nyawa' kepada Boneka Kayu itu. Betapa girang hati Geppeto, mimpinya menjadi cerah, hidupnya berwarna lagi, harapannya tegak kembali. Ini bukan cerita tentang Geppeto dan Pinokio. Jadi kita persingkat saja, petualangan demi petualangan membentuk pinokio. Sampai akhirnya, Pinokio menjadi anak manusia sesungguhnya, yang siap mengemban cita-cita Geppeto.

Boneka Berbaju Kotak-Kotak ini saya pandang sama, lahir dari keputusaasaan akan lahirnya pewaris ideologi. Keturunan jasmani digadang-gadang, berpuluh-puluh anak muda hebat datang dan hilang. Namun pupus. Datanglah Boneka Berbaju Kotak-Kotak. Seperti Pinokio, terlalu cepat memang memaksakan sebuah boneka kayu sebagai anak manusia sungguhan. Tetapi alam politik kita yang unik akan menjadi panggung sirkus, dan perut ikan yang sesuai untuk memproses si Boneka Kayu, menemukan panggilannya, menemukan karakternya, menemukan tekadnya, menjadi anak ideologis dari Bapak Bangsa.

Jika tidak lagi disuguhkan dengan pilihan lain yang lebih baik..
Saya yang hanya rakyat awam dan jelata ini, meneriakkan keinginan untuk menutupi keraguan:
'Lebih mulia rasanya dipimpin seorang boneka kayu berbaju kotak-kotak yang hadir diantara kita, berjalan bersama kita, dan berpikir seperti kita, yang masih mebutuhkan waktu untuk bertransformasi menjadi seorang pemimpin era immanuel yang sejati; dibanding dipimpin seorang pendekar berkuda dengan keris dipinggang yang dengan lantang meneriakkan genderang perang dan dengan kejam menumpas para penghalang, dan dengan garang menuding kaum malang yang kehilangan tiang pancang sebagai 'penghianat' karena tak sudi memandang. Atau seorang konglomerat sok dekat, yang menyayat hati rakyat dengan lumpur jahat yang tak menyelesaikan hasil mufakat. Yang mengumbar syahwat lalu berkampanye sebagai kepala keluarga yang hebat. Satu lagi, kumpulan kaum munafik, yang selalu bermain cantik, melempar kotoran sapi peliharaan sendiri ke lawan politik. Lihai menampik semua tuduhan dan cerdik menghias wajah seolah terlihat bersih dan apik. Berbicara licik seperti akademisi penuh ilmu namun picik. Menuding dan berteriak melawan lupa, namun dengan penuh intrik menelisik peluang kembali berkuasa dengan segala taktik."