Minggu, 18 Juni 2017

Ahok: Menyangkal Diri?



Ada ungkapan yang diucapkan oleh Bapak saya, demikian, "Diri kita yang kecil Dan terbatas ini, jikalau dibiarkan akan menyerap dan menghabiskan apa saja, besar atau kecil, baik atau buruk, berharga atau murahan, tak terpuaskan, tak terhentikan, selagi hayat dikandung badan."

Sejak kita hadir didunia, kita telah belajar memanipulasi apapun dan siapapun untuk kepentingan kita sendiri. Bayi yang baru lahir dengan segera akan sadar bahwa kapanpun dan dimanapun, tangisnya akan memberikannya nyaris apapun, apapun.. Pusat kehidupan adalah dia, semua orang melihat dia, semua orang susah karna dia, dan semua orang bahagia karna dia. Beranjak batita-balita, perlahan dia kehilangan kendali pusat itu. Dia ingin rebut kembali, dengan sejumlah tingkah polah.. Kadang berhasil kadang gagal. Ketika gagal, porsi nya dia tambah, metode nya dia ubah. Diumur sekolah dasar, 5-12 tahun, dia mulai belajar menerima kenyataan, bahwa signal pusat kehidupan sudah meninggalkan dirinya. Dia mencari cari, mengamati, mempelajari sekitarnya. Mereka kini memiliki kesadaran diri, bahwa mereka adalah anak. Kuasa untuk mengatur hidup itu ada pada orang Dewasa. Maka, dia ingin seperti orang dewasa. Mengamati Dan meniru mereka. Tidak semua orang dewasa, hanya yang menarik perhatiannya. Yang sepertinya 'punya kuasa'. Dia ingin segera seperti mereka, dan akhirnya memiliki kuasa yang sama. Kembali menjadi pengendali pusat kehidupan.
Beranjak remaja (12-19 tahun), perlahan dia menyadari, ternyata orang yang ditirunya bukan siapa2, tidak memiliki kuasa, hanya sedang memanipulasi dirinya, untuk kepentingan orang dewasa itu sendiri. Orang dewasa, ternyata tidak lebih baik dari dirinya.  Maka perlahan dia memberontak, mengekspresikan sikap dan pemikiran yang sekedar 'berbeda', untuk memberikan pesan 'aku bukan alatmu, aku adalah aku. Aku punya keinginanku sendiri, punya hidupku sendiri'.
Si Remaja ini mencari dan mencari pengakuan, bahwa dia sanggup mengendalikan kehidupan. Namun dia gagal. Dia harus mengakui, bahwa dia bukan apa-apa, bukan siapa2. Sejak membuat pengakuan itu, dia 'memulai' hidupnya. Merangkak kembali, untuk mengisi dirinya. Untuk memenuhi dirinya dengan apa saja. Seperti kelaparan, dia menelan semua hidangan. Dengan rasa haus yang tak terpuaskan, dia meneguk sungai kesempatan. Memilih teman, yang menunjukkan kedudukan dan memperluas lingkar pengaruhnya. Mencari cinta, juga untuk memuaskan rasa lapar dan dahaga. Seperti magnet, dia menarik semuanya kepadanya. Seperti spoons, dia menyerap kering sekitarnya.
Sampai kapan? Tak ada batas waktu. Sampai yang tak terpuaskan menjadi terpuaskan. Sampai diri nya merespon kepada panggilan lain yang lebih tinggi.

Dalam kesadaran tentang Hal ini lah, Panggilan Kristus untuk Menyangkal diri dan memikul salib sendiri, sebelum mengikut Dia, menjadi sangat Relevan. Sangat Tak mungkin, kita mampu mengikut Dia, tanpa terlebih dulu Menyangkal diri. Kasih Tuhan yang dalam dan lebar, takkan mampu kita pahami. Perintahnya untuk mengasihi orang lain seperti diri sendiri akan seperti perintah mati.
Sebaliknya, Menyangkal diri dan memikul salib sendiri (terlebih dahulu mati dan menyelesaikan semua ambisi pribadi) akan menjadikan kita sip mengikut dirinya. Meneriakkan 'hidupku bukannya aku lagi, melainkan Kristus hidup dalamku' akan membuat kita menjadi 'tempat kerja bagi Pusat Pengendali Hidup itu'.
Kita memang tidak menjadi pusat kehidupan, namun Sang Pusat Kehidupan, hidup dan bekerja dalam Kita. Inilah keindahan panggilan Menyangkal diri.

Akan berbeda ketika kita melihat orang2 yang Menyangkal diri, bekerja Dan berkarya disekitar kita. Karena kita akan melihat seseorang dengan mimpi yang Gila, keberanian yang tanpa batas, energi yang meluap, dan kesediaan untuk berkorban yang melampaui akal.

Sepertinya saya mengenal seseorang seperti itu, dan dia sedang merayakan Sabat nya di pengasingan sekarang.

Gading Serpong, 180617

Selasa, 11 April 2017

Kinara, Tuhan Meluputkanmu Dari Maut, Untuk Apa?

Seorang Balita berusia 4 tahun bernama Kinara, melihat sendiri satu persatu keluarganya dihabisi. Mungkin dengan ketakutan dia berlari dan sembunyi dikolong tempat tidur, sambil menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara atau rintihan sekecil apapun. Dan lenguhan bahkan teriakan penderitaan Naya dan Gilang, kedua kakaknya, mungkin terdengar jelas di telinganya. Luka-luka yang dialami Kinara, menunjukkan kalau dia pun sempat dianiya. Sebagai Papa dari anak-anak seusia Kinara, aku membayangkan aku berusaha melakukan perlawanan sampai sisa nafas dan tetes darah terakhir, sambil memberikan kode supaya anak-anakku bisa lari atau bersembunyi.

Apa yang dilihat Kinara?
Apakah perlawanan Ayahnya yang tak mempedulikan nyawanya demi satu kesempatan bagi anaknya untuk lari atau bersembunyi?
Apakah ketidakberdayaan Naya dan Gilang, kakak-kakaknya yang dibantai dihadapannya?
Apakah teriakan panik dan putus asa Ibunya, yang histeris melihat orang-orang yang dicintainya meregang nyawa?
Apakah wajah dingin si pembantai yang mengabaikan teriakan minta ampun, atau bahkan si sadis itu menghabisi satu persatu korbannya dengan senyum dan seringai puas?
Aku tidak berani memilih, mungkin satu mungkin semuanya. Kinara melihatnya, Kinara mengalaminya, Kinara sembunyi ketakutan di bawah tempat tidur, sampai kemudian ditemukan, berjam-jam setelah peristiwa menyeramkan itu berlalu.
Kinara akan hidup dengan bayangan yang menari-nari di kepalanya, selamanya. Jangan coba entengkan masalah. Selamanya..

Lalu apa?

Selalu ada pertanyaan. Dan pertanyaanku kali ini mungkin adalah pertanyaan yang sering muncul dalam kesulitan, penderitaan, kesengsaraan. Jadi aku ubah sedikit. Aku bertanya, "Mengapa Tuhan meluputkan Kinara dari maut, yang sangat dekat darinya?"
Bukankah lebih baik, Kinara ikut saja bertemu Khalik, bersama keluarganya? Trauma itu tidak lagi menghantuinya, pertanyaan akan masa depannya tidak perlu muncul. Kita akan mengingat tragedi ini seminggu atau sebulan, si Pelaku mungkin dihukum mati, lalu selesai. Tidak ada lagi cerita tentang seorang anak berusia 4 tahun yang berjuang sendiri, untuk lepas dari kesedihan, ingatan, trauma, dendam, ketidakpastian masa depan, hilangnya cinta dari Mama-Papanya, dan semua hal lain yang merupakan dampak dari peristiwa ini.

Mataku ingin beranjak dari Kinara, dan melihat ke Riyanto, Papanya. Kenapa Riyanto (dalam imajinasiku), berupaya untuk menyelamatkan Kinara? Apakah sang Papa, sedikitpun tidak berpikir, akan seperti apa nasib anak kesayangannya, jika selamat dari peristiwa itu? Sepertinya tidak. Lalu apa yang dia pikirkan? Mungkin tidak ada. Dia tidak berpikir apa-apa, selain menyelamatkan anaknya. Untuk apa? Dia tidak tahu..

Tapi, tapi.. Riyanto, Papa Kirana melihat sesuatu. Harapan.. Hope!!
Selagi masih hidup, pasti masih ada harapan. Harapan, bahwa Kinara anaknya akan bisa lepas dari traumanya, harapan bahwa ada seseorang yang akan berbaik hati membesarkan anaknya. Harapan bahwa keluarganya yang menerima sumbangan dari para dermawan, benar-benar amanah, dan menggunakannya untuk kebutuhan Kinara. Harapan bahwa setelahnya berita ini akan besar, dan menarik perhatian seorang Gubernur untuk datang dan menaruh iba pada Kinara. Dan tentu, harapan bahwa Gubernur tersebut tidak mencium dan mengusap usap kepala Kinara di depan kamera wartawan, untuk pencitraan saja. Namun sungguh-sungguh berbuat untuk menjamin masa depan Kinara, setidaknya dalam bentuk materi lah, kan Gubernur kaya.

Mungkin terakhir, harapan bahwa Kinara lewat peristiwa ini akan mendendam pada kejahatan, seperti Bruce Wayne yang menerjemahkan dendamnya dalam bentuk perlawanan Batman pada kejahatan di Gotham City. Siapa tahu, Kinara kelak akan menjadi Bruce Wayne nya Medan City.

Kejahatan di Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara seolah larut dan menyatu dengan perilaku korup para pemerintahnya yang berjilid-jilid selalu terkait dengan KPK. Komisaris Polisi seperti James Gordon dan Polisi Baik seperti John Blake, tidak lagi cukup. Medan sudah seperti hutan belantara tempat para penjahat berkuasa. Apakah mungkin, Medan lepas dari sejarah kelam premanisme dan kekerasannya? Mungkin. Namun itu sama seperti berharap agar ada kepemimpinan yang baik di pemerintahan. Kata Ahok, kalau Kepalanya benar, kebawahnya pasti benar. Kalau tidak, dipotong saja.

Aku melihat cahaya yang sama. Harapan. Harapan itu mahal. People will pay at any cost for Hope! Semua orang menjual harapan. Harapan bahwa kelak bayi nya akan tumbuh menjadi pemuda pintar yang gagah, harapan bahwa kelak pacarnya jadi istri yang solehah, harapan bahwa kelak pengalamannya akan membawa dia pada level yang tertinggi dalam karir, harapan bahwa kelak bisnis kecil yang dia mulai akan memberikan kesempatan kerja kepada sejuta anak negeri, harapan bahwa kelak polisi kota Medan dan Negeri ini akan membalas kepercayaan masyarakat dengan memberikan keamanan dan ketenangan, bukan malah suasana ketakutan dan intimidasi karena menangnya premanisme dan pelaku kejahatan, harapan bahwa kelak si Kerempeng yang dicoblosnya dikertas pemilu 3 tahun lalu akan membawa negerinya menuju welfare state.

Aku tahu, Kinara akan berjuang untuk lepas dari traumanya. Hidup akan sangat keras baginya sekarang, tidak ada lagi usapan tulus dikepalanya, dan ciuman hangat di keningnya (Aku sedang bicara tentang orangtuanya, tidak sedang mengatakan bahwa usapan dan ciuman Gubernur itu tidak tulus dan hanya pencitraan belaka. Itu, hatimu yang bilang.). Namun kini dia punya Harapan.

Sekarang, terpulang pada kita. Jaga Harapan, dan tetap hidup; atau lempar harapanmu, dan matilah!
Aku akan menjaga harapanku.

Pula terpulang pada Tuhan. Bukan mau menantang Sang Khalik, tapi Harapan adalah pemberianNya. Dia yang akan menjaganya, Dia pula yang mewujudkannya.

Kinara, terima kasih.



Bukan Elegi


Kisah itu sebuah jalan

Diputus dan disambungkan
oleh kerikil atau pekat aspal yang seperti asa dalam gumpalan
dalam senja kesumba aku bermimpi
ketika  mematutkan diri ditelaga yang tak berair lagi
ada siluet yang tersenyum seperti tak asing
 Kisah ini bukan elegi
Karena jalan tak selalu bertepi