Kamis, 27 Maret 2008

Rame-Rame Positiv

Membaca kebanyakan buku-buku atau artikel-artikel motivasi saat ini seperti mendengar seorang kakek mendongeng pada cucunya. Ceritanya itu-itu saja, ceramahnya mengandalkan permainan kata-kata, kemampuan bersilat lidah, dangkal, tanpa bobot. Ada yang mengisahkan dongeng kancil mencari ketimun, dengan sejumput perubahan, lalu diakhiri dengan ‘kalimat motivasi’ :

“Nah saudara-saudara, jikalau kita masih mempunyai tangan dan kaki, hendaknya kita jauhkan pikiran-pikiran untuk mencuri dari benak kita! Jadilah manusia yang bertanggung jawab, dengan bekerja untuk kesuksesan sendiri!”

Lalu diakhiri dengan ‘Salam sukses luar biasa!’

That’s it!

Saya sangat tidak mengerti, mengapa banyak pembaca yang mengaku termotivasi, terinspirasi, bahkan meraih sukses kilat setelah membaca tulisan itu. Ada-ada saja. Maka tidak heran banyak sekali muncul penulis-penulis dadakan (Maaf!) yang merasa mampu menulis dan memotivasi orang lain dengan tulisan sejenis, cukup mengandalkan dan mengulangi frasa-frasa wajib seperti, ‘KAMU BISA!’;

‘Sukses dimulai dari berpikir dan meyakini bahwa kamu TELAH SUKSES, TELAH MENDAPATKAN apa yang kamu mau.’

‘Tidak ada yang namanya kegagalan! Yang benar adalah BELUM BERHASIL atau MENUJU BERHASIL!’

‘Selalu berpikir POSITIF! Ambil POSITIF nya! Jangan mau, tetap tersenyum, BERGEMBIRA!’

‘POSITIF THINKING is everything!’

Kalimat-kalimat wajib ini kemudian dibumbui dengan beberapa cerita, ilustrasi, pengalaman-pengalaman sukses, dengan permainan kata-kata yang tentunya dipaksa menarik. Lalu mengapa berhasil? Karena quotes yang ada biasanya menjanjikan kesuksesan kilat, secepat membaca bukunya, (dikatakan) ditulis oleh motivator handal, ulung, nomer satu. Dan tentu saja, banyak orang mencari SUKSES, dan kalau bisa kilat, cepat, tanpa sekolah, tanpa modal. Dan hebatnya, cara-cara yang ditempuh justru ‘menyenangkan’, nyaman, menghilangkan ketakutan, penderitaan, dan menjauhi apa saja yang sepertinya memberikan tekanan, ketegangan.

“Awas, kuasa perkataan!”, begitu biasanya beberapa orang menakut-nakuti.

Lalu apa yang salah?

Entah bagaimana tanggapan anda, tetapi saya melihat ada akibat buruk yang ditawarkan oleh tulisan-tulisan dan bahkan pidato-pidato seperti ini. Yang ditawarkan adalah sukses yang sudah jelas definisinya. Yaitu sukses yang digambarkan dengan kepemilikan akan sejumlah besar uang, posisi tinggi di pekerjaan atau bisnis dengan prospek menggiurkan, pengakuan sosial, dan (pula) tidak ketinggalan prestise sebagai seorang religius nan dermawan. Padahal definisi sukses demikian adalah definisi sukses dengan nilai terrendah, dangkal, dan memuakkan. Sukses yang justru menempatkan setiap usaha sebagai investasi bagi impian akan kemapanan. Nilai dari tiap-tiap tindakan yang memerlukan energi dikuantifikasi dengan level pencapaian secara materi, pangkat, kedudukan sosial, dan simbol-simbol kemapanan lain. Bukankah semua ini membuktikan bahwa orang seperti ini justru sedang ‘diperkosa’ oleh dirinya sendiri, diperbudak oleh mimpi-mimpinya, dan dipermainkan oleh suatu kebutuhan akan pengakuan terhadap eksistensi diri. Nilai-nilai, norma-norma, pengetahuan, keterampilan, hubungan sosial, dan apa saja yang ada, akan dipandang sebagai alat pencapaian tujuan, yaitu kesuksesan dengan definisi seperti diatas. Belajar bukan untuk menjadi bijak dalam menyikapi kehidupan, tetapi supaya kaya, tersenyum bukan untuk memberkati orang lain, tetapi agar mood hari ini tidak rusak, sehingga energi buruk tidak terpancar, dan rejeki tidak terhalang. Beramah-tamah dengan orang lain bukan untuk menikmati kebersamaan, melainkan sebagai persiapan jika kelak membutuhkan bantuan orang tersebut dalam pencapaian tujuan. Semuanya dikonversikan dengan sukses, seperti paman Gober saja.

Beralih pada masalah lain, motivasi populer selalu berfokus pada ‘memandang segala sesuatu dari sudut positif’. Dengan kacamata seperti ini, setiap penganut paham positiv akan dimampukan untuk selalu gembira, optimis, dan cenderung irrasional. Mereka ber-apologia bahwa ‘hati yang gembira adalah obat yang manjur, tapi semangat yang patah mengeringkan tulang’. Seolah-olah mengada-adakan kegembiraan adalah halal, dan semua kesedihan adalah lambang semangat yang patah. Padahal kalau diperhatikan lebih dalam ungkapan tadi, hati yang gembira di bandingkan dengan semangat yang patah, bukan dengan kesedihan. Semangat yang patah, jelas merugikan, menghancurkan bahkan. Sehingga analogi yang tepat untuk ‘hati yang gembira’ adalah suatu iman yang diletakkan pada Dasar yang kuat sehingga, seburuk apapun kenyataan yang dihadapi, seberat apapun tantangan dan cobaan yang datang, sekeras apapun kita terjatuh, tetap saja selalu ada harapan, selalu ada jalan, dan kita selalu dimampukan untuk mengucap syukur, sehingga mengalirlah sukacita yang mengobati. Jelas bahwa obat mengindikasikan adanya luka, sakit, kesalahan, kekecewaan, dan itu bukan sesuatu yang harus diabaikan. Harus dinikmati dengan bersyukur dan penuh pengharapan, dan pengharapan yang benar selalu mendatangkan sukacita.

Menghadapi kenyataan yang ada sebagai ‘as it is’ saya kira sangat penting, seburuk dan segelap apapun itu. Hanya menerima hal-hal baik saja dan mengabaikan setiap kejadian dan suasana buruk jelas tidak akan memberikan kita hidup yang seutuhnya. Sudah jelas-jelas seseorang tidak membalas senyum kita, tetapi kita tetap bersandiwara dan menipu diri sendiri dengan berandai-andai mungkin dia tidak melihat kita. Mengapa tidak ditanyakan saja langsung ke-orangnya, dan menemukan fakta yang sebenarnya. Menganggap bahwa kegagalan adalah sukses yang tertunda adalah sama bodohnya. Gagal adalah gagal, berarti ada yang harus diperbaiki, harus belajar lebih banyak. Mempersempit arti kegagalan hanya sebagai sukses yang tertunda akan membuat kepekaan terhadap kelemahan diri semakin menipis. Dan pula, bagaimana kita bisa menikmati kegagalan sebagai sukses yang tertunda? Kegagalan adalah kegagalan, harus dinikmati sebagai kegagalan, harus disyukuri sebagai sebuah pembelajaran. Bukan sebagai sukses (yang tertunda) yang entah kapan datangnya. Menempatkan kegagalan sebagai sukses (yang tertunda) akan membuat kita senantiasa berorientasi pada kesuksesan, sehingga mensyukuri sebuah kegagalan adalah kemustahilan. Padahal, tugas utama manusia diberi ijin untuk hidup di dunia ini adalah untuk proses pembelajaran, pendewasaan. Bukan untuk mencapai berpuluh-puluh atau bahkan beribu-ribu kesuksesan untuk dibawa pulang sebagai bekal menuju kematian. Jika demikian, saya percaya, apabila Tuhan memakai kesuksesan untuk mengajar dan mendewasakan kita, maka dia pun mampu memakai kegagalan kita untuk fungsi yang sama.

Dengan mengetahui bahwa sukses bukanlah tujuan, maka berpikir positiv tidak lagi berarti apa-apa bagi saya. Yang saya kejar adalah ‘berpikir benar’. Kebenaran, yang terkadang menyakitkan, terkadang pahit, terkadang negativ, harus pula saya telan. Dan bila saya memiliki Dasar iman yang teguh, bila saya mampu mengucap syukur untuk semua itu, dan bila saya tetap berpengharapan, saya tetap bisa bersukacita. Karena baik sukses maupun gagal, baik menangis ataupun tertawa, baik terang ataupun gelap, baik hujan ataupun panas, semuanya adalah proses yang harus dinikmati dan dijalani untuk menjadi dewasa.

Bagaimana dengan kuasa perkataan? Saya sebenarnya bingung, bagaimana kebohongan ini dimulai. Benarkah kata-kata kita berkuasa? Benarkah memperkatakan hal-hal yang buaik akan mendatangkan hal-hal baik, dan memperkatakan hal-hal buruk mendatangkan hal-hal buruk? Dan itu semua karena kata-kata yang berkuasa?

Tersenyum-senyum juga dengan semua kesalah-kaprahan ini. Pertama-tama saya harus menegaskan bahwa berkata-kata tentang kebohongan itu dosa, jelas sekali. Jadi sebaik apapun perkataan kita, jika itu bohong, maka tetap saja : DOSA~!

“Aduh, cantik sekali kamu hari ini”

“Wah, hebat! Suaramu bagus!”

“Senang bertemu dengan anda!”

‘Tenang aja, kita pasti berhasil”

“Kamu berbakat loh jadi pencela nomer 1!”

“Sori ya, tapi kamu harus belajar lebih banyak nih untuk menjadi pemimpin acara!”

“Kita kelihatannya akan gagal. Lihat saja, sudah hampir dua bulan kepanitiaan belum juga terbentuk!”

Kalimat-kalimat diatas adalah kalimat biasa, yang pertama sekali harus dinilai dari jujur atau tidaknya, bukan dari menghibur atau tidak, menyemangati atau tidak. Dampak apa yang diharapkan dari suatu penghiburan atau dorongan yang lahir dari kebohongan? Tetapi sebaliknya, suatu kejujuran, betapa pun menyakitkan, akan membantu orang tersebut untuk berubah lebih baik lagi.

Kata-kata tidak berkuasa, tetapi kejujuran akan diperhitungkan sebagai sebuah kebenaran. Memang ada banyak premis yang mengatakan bahwa seorang anak yang dibesarkan dengan kata-kata positiv akan cenderung berkembang lebih baik secara mental. Betulkah demikian? Pasti ada kesalahan! Sangat tidak logis bahwa kebohongan-kebohongan, seberapa positiv dan kuatnya pun motivasi di dalamnya, akan memberikan pengaruh baik pada manusia. Jelas, bahwa orang tua yang mengedepankan kebenaran tidak akan memamahkan kata-kata atau kalimat-kalimat jahat kepada anaknya. Tetapi kebenaran, betapa buruknya pun itu, saya pikir akan di pakai oleh Allah untuk kebaikan. Ah, bagi saya seribu perkataan buruk tentang saya, akan mendorong saya untuk intospeksi diri, tidak lantas membuat saya menjadi seburuk apa yang dikatakan. Dan pula, sejuta pujian atau kalimat-kalimat indah yang dialamatkan pada saya seringkali membuat saya bodoh dan minim respon terhadap perubahan, untung dengan bijak saya memilih untuk mengabaikannya selepas menyunggingkan senyum atau mendesiskan ucapan terima kasih.

Itu sudah!

Kamis, 13 Maret 2008

Saya bukan Pengkhotbah!!


Lagi pusing dengan banyaknya permintaan 'berkhotbah' di beberapa tempat. Disatu sisi memang bersyukur, berarti masih banyak orang-orang yang rindu pengajaran yang benar (kog jadi seperti self proclaim bahwa pengajaranku benar ya?), atau masih ada saja orang-orang yang mendapat berkat dari 'bahasan-bahasan' yang saya sampaikan (terbukti kan, kalau Tuhan bisa pake siapa dan apa saja, untuk memberkati orang lain).
Tapi yang menjadi titik hirau saya (cie), mengapa berkhotbah? Mengapa bukan konseling, PA kelompok, Eksposisi kitab (khotbah juga ga sih?), atau datang di kelas kecil, atau diskusi, atau hal-hal lain (selain berbicara di depan puluhan atau ratusan orang dengan topik yang itu-itu aja, dan membuat mereka senyum-senyum, tertawa, sebelum akhirnya tertohok -mudah-mudahan).

Orang-orang memang senang dikhotbahin. Apalagi kalau pembicara atau pengkhotbahnya atraktif, lucu, bisa malu-malu in, dan membahas tepat seperti tema yang DIBERIKAN. Khotbah memang menjamin tidak adanya interaksi langsung antara si Pengkhotbah dan yang mendengarkan, jadi ga perlu takut ada dosa yang dibongkar, bisa terlihat kudus dengan pendosa-pendosa lain yang menertawakan dosanya bersama-sama. Apalagi, jika pengkhotbahnya membosankan, tak mengapa, toh waktu yang diberikan terbatas, 40 menit juga selesai. Setelah itu, khotbah selesai, setelah acara basi-basi dan salam-salaman pendek, si pengkhotbah boleh pergi dengan membawa serta amplop yang di sediakan, mungkin sambil tersenyum-senyum karena mengira obatnya laku, dan berharap cemas mengira-ngira berapa isi amplopnya. Begitu kira-kira pandangan 'kritis' beberapa orang. Apalagi, sekarang ini, banyak komentator-komentator yang lebih ahli dari si pengkhotbah.

Khotbah memang menolong, tapi tidak banyak. Tak terhitung lagi berapa banyak khotbah yang telah kita dengarkan sepanjang hidup, tapi bagian mana yang masih kita ingat? Hanya sedikit, mungkin sangat sedikit. Padahal banyak orang yang menggantungkan hidup rohaninya hanya dari khotbah, setelah itu ia merasa cukup bekal untuk bersibuk-sibuk ria, melayani dengan ceria, dan berlaku manis sepanjang minggu. Banyak juga orang yang menelan mentah-mentah 'pil khotbah', menganggap bahwa setiap orang bergelar hamba Tuhan cukup layak dipercaya. Jadilah dia pengikut yang setia, manggut-manggut kalau pendeta sudah berbicara. Yang idealisme kristianinya dibangun atas pola pikir orang lain, disampaikan katanya menurut Alkitab, dalam kurun waktu 40 menit. Melebihi waktu yang diberikan untuk menyanyi, melompat, berdoa, dan mendengar pengumuman. Belum lagi jika pengkhotbahnya hanya peduli perasaan jemaat, kuatir ga diundang lagi, dia mengajak jemaat menertawakan dirinya (saya termasuk tipe seperti ini), persis srimulat. Dari awal sampai akhir, itu-itu saja, jikalau beruntung dan kebetulan pengkhotbah pandai bernyanyi, yah diselingi nyanyian satu dua. Jemaat senang pendeta pulang bawa uang, kapan lagi?

Terus terang, saya miris melihat kondisi seperti di atas. Menjadi pesimis, apakah orang-orang bisa bertumbuh dari khotbah, atau hanya sebagai pelengkap penting dalam ibadah. Seperti jekpot kadang baik, kadang buntung. Padahal, Iman bertumbuh dari pengenalan yang benar akan Allah, dan pengenalan yang benar hanya di dapat dari pengertian yang baik, utuh, dan menyeluruh akan Alkitab.

Kelompok kecil lebih banyak membangun. Pelajaran-pelajaran Alkitab dalam kelas kecil, diskusi-diskusi, dan kelompok eksposisi, memberikan pengertian yang lebih mendalam. Saya rindu memberi waktu lebih di sini, di kost-kostan, di selasar kampus, di warung kopi, di kafe, di mana aja, semua itu menjadi 'mimbar-mimbar' yang sempurna untuk belajar Firman Tuhan.

Ups, sudah hampir jam 11, saya harus ke ITB, untuk BERKHOTBAH , he-he. Saya mau bilang pada mereka, saya bukan pengkhotbah (kog kontradiktif ya?). Saya mau bilang, boleh dindang khotbah, tapi lebih senang kalau ada yang mau datang ke kelas kecil, atau berdiskusi bersama-sama, menemukan sedikit demi sedikit bagaimana mempengaruhi dunia, dimulai dari sekarang, di sini. Mungkin memang 'mimbar' saya di bawah pohon rindang, atau di perpustakaan, atau di kost-kostan.

Nati kita lanjutkan lagi ya!

Selasa, 11 Maret 2008

ANTARA CINTA DAN HOBI MENGUPIL

Kemarin ada seorang teman diskusi melemparkan topik menarik untuk dibahas. Tentang CINTA. Tapi tunggu dulu, ini sedikit lebih menarik, rada berbeda, bagi saya, unik (baca: aneh) juga. Awalnya sih konseling pribadi, tapi tak apalah saya bagikan. Toh dia mengijinkan, asal nama samarannya sedikit lebih keren dari yang dikoran-koran.

Masalahnya cukup rumit (setidaknya bagi dia), ceritanya teman saya ini punya kebiasaan buruk. Suka secara tidak sadar (maaf) mengorek hidungnya, justru saat sedang berbicara dengan orang lain. Parah memang, tapi di beberapa kesempatan penting dia selalu berusaha untuk behave, mati-matian menjaga kesadaran otaknya agar kebiasaan (saya ga cukup tega untuk bilang itu buruk, cuma kurang beradab kali ya,ha-ha) -nya tidak muncul. Kan malu juga, kalau di rapat kerja dengan atasannya misalkan, dia secara tiba-tiba dan begitu menikmati fokus terhadap hobi korek hidungnya. Wadow, bisa berabe urusannya. Intinya, kebiasaan itu sebenarnya bias diajak kompromi di saat genting. Tinggal mengaktifkan sensor saja, dan otaknya akan cepat-cepat mengingatkan dirinya untuk cepat-cepat mewaspadai gerakan mencurigakan telunjuk tangannya yang mulai mengarah ke hidung. Sejauh sensor itu ditanggapi dengan baik, dan rasa malu masih lebih besar dari melampiaskan nafsu sesaat untuk mengorek hidung, maka selesailah persoalan.

Awal Januari lalu, teman saya ini, sebut saja Poltak (Gimana, keren kan bro?) tampaknya tertarik dengan hobi lain, mengejar cinta. Seorang gadis yang dikenalnya di satu persekutuan pemuda, begitu menarik hatinya. Modal nekat dia menanyakan nama gadis itu, dan kemudian nomer hp. Eh, dasar lagi mujur, atau karena dia setengah mendesak, gadis itu memberikan. Semua terasa begitu lancar, pertemuan-pertemuan selanjutnya terjadi, tidak hanya di persekutuan pemuda itu lagi, tapi terkadang sudah berpindah ke tempat-tempat yang lebih ayik. Jadwal sms dan telpon pun sudah semakin tidak teratur, kapan saja. Mungkin sama-sama sudah punya resolusi tahun baru : bertekad mengakhiri ke-jomblo-an yang menyesakkan itu, SECEPATNYA!! Poltak cukup optimis, resolusinya akan tercapai tanpa menunggu lebih lama lagi. Satu dua kali mereka menikmati romantic dinner, lancar tanpa hambatan berarti. Merasa bahwa ada kecocokan, mereka pun mulai saling mendekat.

Memang ada beberapa karakter yang mereka akui saling bertolak belakang. Saya tahu persis betapa Poltak selalu memimpikan gadis berkacamata dan berambut lurus, panjang terurai. Namun penolakan yang jelas dan tegas telah diberikan sang gadis (selanjutnya sebut saja Reni), yang merasa bahwa rambut pendek dan lensa kontak (begitu bukan bahasa Indonesianya?) lebih sesuai dengan karakternya yang aktif. Belum lagi permintaan Reni untuk cepat-cepat menikah, sudah 27 katanya, itu pun harus di Jawa, bukan di Bona Pasogit. Apa kata Poltak? Bukan masalah, ego bisa dikesampingkan. Wuih, hebat! Bagaimana dengan Reni? Jelas dia pun setuju menerima Poltak apa ada nya. Padahal, Reni cukup bergumul dengan beberapa hal yang melekat pada diri Poltak. Kebatakannya, hidungnya yang pesek, pekerjaannya yang menuntut untuk selalu berpindah-pindah daerah, fakta bahwa sahabat Reni adalah mantan pacar Poltak, keluarga Poltak yang secara halus menunjukkan ketidaksukaan mereka, dan (yang paling penting) Poltak melupakan ulang tahunnya 9 Februari kemarin. Walaupun semuanya sering mebuat Reni pengen nangis, tapi toh Reni bisa menerima.

Dua puluh sembilan Februari lalu, Poltak menyatakan cintanya, Reni dengan mata berkaca-kaca tersentuh melihat Poltak berlutut, di antara orang-orang yang tak mereka kenal. Tanpa disangka-sangka, semuanya begitu rapi direncanakan Poltak. Hanya mungkin, pilihan tempatnya tidak begitu bijak, warung Bakso, ha-ha. Tapi Reni sudah terbius oleh suasana, kalau sudah begini, warung bakso pun akan seperti batu cinta di kawah putih, bukan persoalan penting. Perkenalan yang singkat pun tidak menjadi penghalang, dengan disaksikan abang tukang bakso dan orang-orang yang pura-pura tidak melihat padahal mungkin memasang telinga dengan fokus, Reni menganggukkan kepala. Dia pun mungkin sudah lupa apa pertanyaan Poltak, tapi yang dia pahami, suasana seperti ini hanya memerlukan satu anggukan kecil, tidak perlu penuh semangat nanti dikira mau banget, padahal memang iya.

Dan begitulah, Poltak pun resmi memacari Reni. Pertemuan-pertemuan selanjutnya terasa lebih cair, kata-kata sayang sudah mengalir bagai gerimis. Lirikan-lirikan tak diperlukan lagi, kalau mau pelototin sampai sore pun tak mengapa. Dari pihak Poltak, situasi begini membuat dia lebih menikmati tiap-tiap kebersamaan mereka. Rasa canggung bahkan sudah ngacir jauh, entah kemana. Naas bagi Poltak, peristiwa itu pun terjadilah. Lagi asyik-asyik ngobrolin masa depan, telunjuk Poltak mulai mengarah ke sasaran. Sensor otak sebenarnya sudah berkali-kali mengingatkan, tapi telunjuk itu tetap aja bernafsu untuk dengan gemasnya mengeluarkan sesuatu dari hidung Poltak, dan berhasil. Untuk beberapa detik, Poltak tidak menyadari bahwa ada seorang gadis yang terbengong-bengong marsitoltol (baca: tegak tak bergerak) melihat aksinya.

Dengan santai Poltak akhirnya bersuara, “Sori Ren, ga nyadar!

Tapi gadis itu tetap terdiam, tanpa huruf, dengan wajah setengah menangis setengah jijik, tak terdefinisikan.

“Ren, sori! Kebiasaan buruk. Masa gitu aja marah sih?”

Bukan film, bukan sinetron, bukan novel, bukan komik, Poltak mengaku itu terakhir kali dia berbicara dengan Reni sebagai pacar. Selanjutnya, berpuluh-puluh sms-nya pergi tanpa pernah kembali membawa balasan. Berpuluh-puluh missed call, dan pengejaran-pengejaran aneh, dan tanpa hasil. Baru kemarin, 10 Maret 2008 dia menerima sms, dari Reni. Senangnya bukan main, tapi hanya sesaat:

Km batak, ga mslh, aq trima.

Kluargamu ga se7, ga mslh, kita bjuang brsama.

Km bakal bpindah2, ga mslh, aq ikut.

Shbtqu maki2 aq, ga mslh, aq tahan.

Tp ngupil km blg KEBIASAAN,

Sori, aq jijik!!

Aq ga byk ngeluh kog ama Thn, aq bisa bljr syg ma sapa aj.

Aq cm pny 1 syrt aj utk pasangan hdp:

GA NGUPIL!!

Tak tahu lagi bagaimana menyimpulkan perasaan hati saya mendengar curahan hati Poltak, apalagi membaca sms Reni. Baru kali ini, benar-benar baru kali ini ada masalah cinta seperti ini saya hadapi. Hampir saja saya percaya terhadap kebenaran artikel yang pernah saya baca di ‘kilasan kawat dunia’ milik kompas, ada isteri yang mengugat cerai suaminya, karena tidak lagi tahan mendengar dengkuran setiap malam. Membuat si isteri lama tidak bisa tidur, dan akhirnya masuk rumah sakit. Walaupun tak habis pikir, tetapi saya bisa mengerti kesulitan Reni. Dia bukan gadis manja yang ingin segala sesuatunya sesempurna angan-angannya. Reni belajar menerima banyak sekali kekurangan, lebih dari pada apa yang saya bahas di atas. Tidak adil kalau kita dengan mudah menghakiminya sebagai pihak yang salah, untuk perkara ini. Siapa tahu, memang dia begitu terganggu, begitu jijik dengan tiap-tiap ‘proses mengupil’ yang diperhadapkan padanya. Apalagi oleh seseorang, yang akan menemaninya seumur hidup. Siapa tahu, melihat orang mengupil, membuat dia berada pada tingkat kejijikan stadium akhir, sehingga menghancurkan selera makannya untuk seminggu ke depan, atau bahkan hal buruk lain, yang benar-benar mengganggu eksistensinya sebagai mahluk hidup yang sehat jasmani dan rohani. Artinya, melihat orang mengupil benar-benar merusak ke-waras-an, dan kesehatan nya. Siapa tahu?! Coba berpikir netral, mungkin saja terjadi, kan?

Masalah satu-satunya adalah tidak ada toleransi dari Reni untuk mengupil dan itu sudah menjadi bagian dari habit, kebiasaan Poltak. Siapa yang harus mengalah di sini? Anda tahu susahnya mengubah kebiasaan bukan? Saya sudah beruaha meyakinkan Reni, tetapi dia tetap saja bergeming bahwa habit akan tetap dibawa samapai mati. Benarkah?? Saya yakin, bisa! Apalagi dengan motivasi besar. Tapi sebesar apa? Saya yakin, banyak yang setuju, bahwa mengupil (ya, pun tidak pada tempatnya) bukanlah dosa. Jadi, satu-satunya motivasi yang cukup besar yang dimiliki Poltak untuk mengubah kebiasaan ngeselin yang satu ini adalah BESARAN CINTA. Kuantitas dan kualitas cintanya pada Reni. Saya berharap, Poltak berhasil. Ngeselin juga kalau dia harus kehilangan Reni –nya, hanya karena hobi yang kini dia benci itu. Dia mungkin bisa berkoar-koar bahwa samudera akan dia renangi, Himalaya akan dia daki, semua demi Reni. Kini, berhenti mengupil adalah samuderanya, Himalaya –nya.

Selamat berjuang, bro! Nanti jika berhasil, cepat curhat lagi! Buktikan bahwa Himalaya memang bisa ditahlukkan! Mulailah dengan mengumumkan pada semua orang untuk memukul tanganmu, ketika telunjukmu mulai mengarah pada sasaran. Siapa tahu teori mengubah perilaku dengan metode reward and punishment memang berhasil pada masalahmu.

-tagesi

Selasa, 04 Maret 2008

KESEMPATAN BAGI GENERASI MUDA

Mempersiapkan Pemimpin-Pemimpin Muda di Tengah Krisis

Menarik melihat diri sendiri. Ada kalanya merasa besar, kecil, benar, salah, berarti atau tak bermakna. Tak ada pola, tak ada batasan. semua yang saya ketahui tentang diri senantiasa bergantung pada kearah mana kita memandang hari ini, saat ini. Saya bisa melihat ada sosok bernama Taor yang berperan menjadi raksasa menakutkan bagi dirinya sendiri, yang mimpi-mimpinya terlalu besar, jauh lebih besar dari porsi tubuhnya yang subur, dan dengan sejumput potensi, terlalu minim untuk sekedar mencapai kaki gunung, apalagi sampai memeluk gunung Krakatau.

Saya bermimpi mengubah dunia, walaupun mengubah diri sendiri saja susahnya bukan kepalang, bermimpi menjadi agen perubahan, berteriak-teriak tentang krisis kepemimpinan, tentang etika dan moral yang sudah menjadi semu, tentang menjangkau generasi Y, membantu membentuk pemimpin baru. Mengernyitkan dahi melihat dan mendengar elit sibuk bertengkar tentang bagaimana memenangkan kursi kepala daerah atau negara, katanya demi perubahan yang lebih baik bagi rakyat. dana miliaran rupiah yang dihabiskan untuk kampanye, bukannya lebih baik dialokasikan untuk membina dan menumbuhkembangkan karakter Mesias ditengah-tengah generasi muda kita? Entah mengapa saya sudah skeptis terhadap bagaimana mengubah pola pikir dan filsafat hidup generasi tua. Ya sudahlah, karakter itu sudah berurat berakar, sudah mendarah mendaging, mengikat seluruh sendi-sendi kehidupan, kalau akar permasalahannya harus dicabut, itu sama saja dengan berpikir untuk melenyapkan satu generasi demi sebuah perubahan. Mungkin sama seperti kebebalan generasi tua bani Israel pada waktu mereka keluar dari Mesir. Memang Allah bukannya putus asa tidak sanggup lagi mengubah para tua-tua yang berusia 40 tahun keatas itu, tetapi Allah memilih jalan membawa bangsa besar itu mengembara di gurun selama 40 tahun, sebelum tiba di Palestina dan memberikan tanah yang penuh susu dan madu itu bagi mereka. Allah memilih menunggu 40 tahun, waktu yang cukup sehingga seluruh generasi tua pembangkang dan bermental rusak itu bertemu ajalnya dipandang gurun. Palestina dipercayakan bagi generasi muda, generasi baru, yang dipersiapkan dengan baik di padang gurun, dengan segudang permasalahan, menjadi lebih kuat, lebih tanggap, lebih dewasa dan lebih siap menerima tanggung jawab sebagai pengelola tanah 'surga' pemberian Allah itu. Generasi ini dipersiapkan ketika para tua-tua, penolak-penolak Allah, masih memimpin, memerintah, memuaskan ego dan kebuasan mereka. Mereka tahu, Allah telah menolak mereka, silahkan berbuat sesukanya di padang gurun, yang penuh dengan badai pasir, dan 40 tahun kedepan, satu-persatu jasad mereka akan terserak di gurun luas itu, dan menjadi monumen bagi sejarah dunia, bahwa Allah pernah memunahkan satu generasi yang bebal, untuk memberi kesempatan bagi generasi baru belajar dari kesalahan, dan mengambil alih tanggung jawab memimpin bangsa baru di tanah yang baru, dengan harapan baru.

Akan ada keberatan-keberatan dari sebagian generasi tua jika sejarah benar-benar terulang. Benar, tidak semua generasi tua bertanggung jawab pada keadaan ini. Masih ada 'Kaleb' dan 'Joshua' yang tidak hanya diijinkan masuk ke tanah perjanjian, tetapi diberi pula kepercayaan untuk menjadi panitia pengarah, pembimbing, dan pemimpin para generasi baru itu. Orang-orang benar, yang tidak memiliki karakter generasinya, orang-orang yang masih melihat Allah dan mau mendengar Kewibawaan kuasanya. Mungkin saja bangsa ini masih memiliki kelompok Kaleb dan Joshua, yang kepadanya Allah menaruh beban untuk suatu masa depan yang lebih baik, memimpin bangsanya kepada Allah. Bangsa kita, Geraja kita, dan komunitas kita tentu masih membutuhkan pemimpin tua yang bijak, pemimpin yang melihat bahwa tanggung jawab kepemimpinan adalah beban yang diterima dari Allah, dan memiliki nilai kekal, artinya, sampai kekekalan nanti, Allah akan 'mempertanyakan' menuntut tanggung gugat. Tapi saya rasa, tak perlu iklan di seluruh media massa :'Dicari, Joshua dan Kaleb jaman ini!'

Tiap-tiap pemimpin harusnya mengerti benar apa ujian kepemimpinan. Bila lulus, tanggung jawab yang lebih besar menanti.

Kembali kepada persiapan generasi muda, bagian ini tidak akan pernah menjadi hal yang menarik bagi pemimpin-pemimpin tua. Mempersiapkan para pemuda sama saja dengan mengakui bahwa mereka telah gagal. Sama saja dengan menyerah kalah kepada para oposan. Sebagian dari mereka hanya berpikir tentang saya, saya, dan saya. Tidak pernah sadar akan kapasitas dirinya, tidak pernah mengerti bahwa demi masa depan yang lebih baik harus ada regenerasi. Sedangkan sudah nyata-nyata salah saja, masih mati-matian mempertahankan kekuasaan. Padahal seharusnya tidak begitu, mempersiapkan suksesor jangan dipandang sebagai iklan kegagalan diri, namun justru suatu teriakan pengakuan, bahwa sebaik apapun kita menjalankan tanggung jawab saat ini, tetap saja, kita harus selesai, harus ada yang melanjutkan, harus ada yang merasakan bahwa kebijakan-kebijakan kita salah atau benar. Harus ada yang lebih cerdas, lebih baik, lebih kuat dan lebih siap dibanding kita..

Hah, mimpi-mimpi ini tampaknya harus dimulai seorang diri. bukan mengklaim bahwa hanya saya yang berpikir seperti itu. Bukan! Karena bagaimanapun tidak mungkin mewujudkan mimpi-mimpi seorang diri. Tidak mungkin pemimpin lahir dari prakarsa pribadi. Dengan keyakinan bahwa masih ada orang-orang yang berpikir sama, bermimpi sama, berjuang bersama, maka saya tetap bekerja, disini, sendiri, kecil dan besar, untuk suatu tujuan, mempersiapkan pemimpin-pemimpin muda, menjangkau generasi muda. Saya tahu, saya tidak sendiri!!

Berpikir dan kemudian mencurahkan ide ini disini, membuat saya membuang jauh-jauh ketakutan terhadap mimpi sendiri. Allah membentuk pemimpin-pemimpin baru dari generasi baru di padang gurun, 40 tahun. Allah yang sama akan membantu kita, 'Agents of Change' mempersiapkan generasi pemikir, pendobrak, pembaharu, dan pelaku-pelaku yang setia, yang memiliki karakter-karakter Mesias di dalam dirinya. Butuh 40 tahun? Mungkin, tapi mengapa tidak?

GORESAN TERIMAKASIH

Untuk Setiap Pribadi yang Telah Dipakai Membentukku

Sebagai Aku, Apa Adanya Aku

(Bagian Pertama)

Ya Tuhan tiap jam kumemerlukanMU

Engkau lah yang membri sejahtera penuh

Setiap jam ya Tuhan Dikau kuperlukan

Ku datang Juruslamat, berkatilah!

Syair diatas tidak pernah gagal menjalankan tugas dalam menginspirasi dan menguatkan saya. Ketika saya pertama kali mengalungkan dengan bangga status kemahasiswaan di leher, syair itu yang mengingatkan saya pada satu-satunya PENGHARAPAN. Ketika satu-persatu orang yang saya cintai pergi, sekali lagi syair itu dipakai dengan begitu luar biasa untuk mengalirkan penghiburan sejati. Pernah pula, ketika studi dan pelayanan terasa seperti beban yang sangat berat, menjadi begitu nikmat dan menjadi kenangan. Syair itu, sekali lagi begitu menginspirasi (bahkan sampai-sampai dengan segala ketidaksengajaan, tanpa mengurangi rasa hormat kepada penciptanya, syair itu pernah begitu melekat dan menjadi identitas saya). Tidak salah kalau terima kasih pertama saya tujukan kepada pencipta lagu tersebut.

Entah mengapa, saat ini saya tergerak menulis ucapan terima kasih kepada pribadi-pribadi yang saya rasakan benar-benar telah dipakai oleh Tuhan untuk membentuk saya, sebagai aku apa adanya aku. Goresan terima kasih ini saya tujukan untuk menunjukkan betapa saya saya menghargai apa yang telah mereka perbuat bagi pembentukan saya sampai saat ini. Goresan yang saya harapkan dapat pula meninggalkan kesan, untuk setidaknya menjadi pengakuan bahwa si aku apa adanya aku menghargai dan berterima kasih untuk tiap-tiap karang yang telah dibawa dalam hidup saya. Dengan kesadaran penuh, bahwa saya berhutang budi kepada semua pihak yang memungkinkan saya untuk terus-menerus bertumbuh menjadi lebih baik lagi sebagai pelayan Allah.

Harta yang paling berharga adalah keluarga, mutiara tiada tara adalah keluarga, puisi yang paling bermakna adalah keluarga…

Sukacita yang sangat besar bagi saya untuk memberikan terima kasih terbesar kepada keluarga. Motivasi, harapan, penghargaan, dan kebanggaan mereka adalah alasan bagi saya untuk berbuat yang terbaik. Tidak semua orang beruntung ditempatkan di dalam suatu keluarga yang begitu luar biasa, tim yang solid, rumah yang kokoh, ikatan yang kuat, dan doa yang berkuasa..

Kehidupan tidak pernah begitu mudah. Terlahir dari sepasang suami-istri yang begitu sederhana ternyata sangat dominan dipakai Tuhan membentuk dan mempengaruhi hidup saya. Bapak (Hamonangan Siahaan) adalah pribadi pertama yang menyadarkan saya bahwa kemiskinan adalah anugrah. Begitu banyak buku-buku dan kata-kata bijak ber- ‘filosofi’ yang mendengung-dengungkan bahwa kemiskinan adalah selalu ‘kutuk’ dari kebodohan dan kemalasan. Mereka kelihatannya belum pernah mengenal bapak. Dia begitu mengerti dan menghayati arti Ucapan Berbahagia di dalam Kitab Injil Matius 5:3. ‘Kemiskinan Di hadapan Allah’ adalah pondasi utama hidupnya. Dia bukan pemuja kemiskinan yang berpuas diri dan memandang salah para orang kaya, bukan begitu maksudnya. Dia justru tidak senang terhadap orang-orang yang hidup miskin secara harta karena kemalasan dan kebodohannya. Bapak bekerja keras, lebih keras dari orang kebanyakan. Bagi kami anak-anaknya, dekat dengan bapak artinya bekerja, berkarya. Melihat ada mahluk bernyawa yang makan tanpa bekerja, baginya itu berarti penistaan terhadap harkat dan martabat diri orang itu sendiri. Jadi jelas, dia pekerja keras, tetapi kemiskinan masih masih menjadi cara hidupnya. Berpikir kalau bapak adalah pekerja keras tetapi juga bukan pekerja cerdas adalah juga suatu kesalahan. Dia seorang pembelajar tulen, asli, bukan karbitan. Ide-idenya lahir dari proses berpikir, segar, bukan contekan. Dia menghargai proses belajar sebesar dia melakukannya. Bekerja sebagai buruh di salah satu Bank Pemerintah tidak membuatnya hanya melulu tahu tentang perkreditan. Dia mengerti theologia, paham politik, dia menceritakan pada saya siapa itu Mozart, Bach, dan Bethoven dengan begitu lengkap dan detail. Napoleon dibuang ke Pulau Elba sudah saya ketahui sedari TK. Sepulang sekolah minggu saya pernah sekedar bertanya padanya siapa itu Martin Luther, namun sorenya saya harus duduk di sampingnya berjam-jam untuk mendengar kisah tentang Luther yang berdoa kepada Santa Anna, 95 Dalil, sampai kepada buku Summa Theologia yang habis-habisan dikritik Luther, padahal telah menjadi semacam ‘alkitab kedua’ selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Dengan ter-bengong-bengong saya mengangguk dan selanjutnya baru mengerti semuanya itu belasan tahun setelah itu, di bangku kuliah. Cerita-cerita pengantar tidur kami bukan sekedar kancil mencuri ketimun. Masa kecil kami sudah dipenuhi dengan kisah Anastasia, Raja Arthur, Putri Genoveva, dan bahkan cerita-cerita klasik milik Shakespeare yang kemudian baru kami pelajari di kelas bahasa Inggris bertahun-tahun kemudian. Ada banyak kisah-kisah berbobot lain yang saya yakin tidak diketahui oleh anak-anak lain di dunia ini, semua itu mengalir cerdas dari pikiran-pikirannya. sejak kecil, Bapak selalu memperlakukan kami sebagai ‘murid-murid’ atau teman berdiskusi yang sepertinya mengerti benar apa yang dia bicarakan. Masih banyak lagi penjelasan-penjelasan yang dapat saya paparkan sebagai bukti bahwa bapak adalah orang cerdas. Jelas, dia pengagum kemiskinan yang cerdas dan pekerja keras. Baginya, Tuhan telah sedemikian jelas menegaskan bahwa kebergantungan penuh kepada Tuhan haruslah menjadi gaya hidup. Seperti seekor rusa yang tidak pernah jauh dari sungai. Secara radikal Bapak berpendapat bahwa segala kemapanan, kemewahan, kekayaan, dan kenyamanan yang seharusnya dapat mendorong kita untuk lebih indah lagi berkarya bagi Tuhan, justru seringkali berhasil menyeret kita kearah kesombongan diri, dan keegoisan. Menjadi berhenti belajar, malas berkarya, berhenti berpengharapan kepada Allah, dan benar-benar berfokus pada ‘nilai diri’. Bapak bilang, kemiskinan mengajarkan kita bahwa tidak semua kerja keras diganjar dengan keberhasilan, tidak semua yang nyaman itu indah, dan tidak semua kebahagiaan bisa dibeli. Justru dengan tetap miskin dan sederhana walaupun telah bekerja keras dan menjadi cerdas dengan belajar, kita diajarkan bahwa setiap usaha dan karya yang kita hasilkan bukanlah untuk membuat kita meras berhak atas sebuah keberhasilan, penghidupan yang mewah, dan kehormatan. Bekerja dan belajar adalah upaya kita untuk memaknai kenyataan bahwa kita ini adalah cerminan dari Allah. Agar jangan ada orang yang melihat kita tidak melihat Allah dan pekerjaan-Nya di dalam kita. Lalu bagaimana kita makan, minum, dan mendapatkan segala fasilitas untuk tetap hidup dan maksimal dalam berkarya, semuanya itu adalah anugrah, yang pun nantinya harus tetap dipertanggung jawabkan. Maka Bapak adalah orang keras yang cerdas, orang cerdas yang keras. Yang mendidik anaknya dengan ikat pinggang (mungkin karena rotan susah dicari), pemikiran, dan pelukan. Terima kasih terbesar adalah untuk Bapak, atas pemikiran, teladan dan hidupnya yang begitu mempengaruhi saya.

Lalu Mamak? Saya tak habis pikir mengapa Mamak setuju menikah dengan Bapak. Selain dari pemikiran, ketegasan, dan kerja keras, entah apa yang dia punya dulu. Menurut saya, kebanyakan remaja putri (dari tahun 80-an sampai sekarang) tidak pernah benar-benar tertarik dengan pemuda tanpa uang dan tampang. Jelas Bapak tidak punya itu. Saya pernah secara serius menanyakan ini kepadanya, dan dia hanya tersenyum. Selanjutnya, kisah yang selalu mewarnai hari-hari keluarga kami adalah kisah tentang Bapak yang tidak pernah menyerah dan tanpa tau malu mendekati Mamak, yang kala itu katanya sama cantiknya dengan Meriam Belina dengan rambut panjang bergelombangnya. Dan Mamak dengan kesal terpaksa harus setuju dipacari seorang pemuda eksentrik yang sepertinya tanpa harapan. Penilaian saya sebagai anak mereka, Bapak tergila-gila akan kecantikan dan kelembutan hati Mamak, dan Mamak (walaupun tak mau berterus terang) pasti tergila-gila dengan karisma dan pesona kecerdasan Bapak. Ya, Mamak adalah seorang wanita yang cantik dan lembut. Sayang kedua kelebihan itu tidak menurun kepada saya. Tampang jelek dan kecerdasan (ehm) Bapak adalah warisan saya. Mamak bukanlah wanita yang kecerdasannya di atas rata-rata, seperti Bapak. Saya perhatikan, terkadang Mamak mengeluh juga dengan ocehan dan pertanyaan-pertanyaan Bapak yang entah dari mana dan tentang apa saja. Tetapi beliau punya kelembutan hati, dan ini menjadi daya tarik utamanya. Ketegasan Bapak senantiasa diimbangi oleh kelembutan Mamak. Tempat mengadu yang paling teduh. Hanya saja, kami harus tahu waktu dan kesempatan. Mamak punya kelebihan lain yang tidak kami suka, cerewet. Itu karena hal-hal kecil, detail, dan kompleks. Mungkin karena kemeja sekolah yang dikeluarkan dari dalam celana, atau buku pelajaran yang tanpa sampul, rambut yang tidak disisir rapi, piring-piring kotor yang belum dicuci, halaman rumah yang belum dibersihkan, anak-anak nakal yang susah tidur siang, sampai kepada si Bomber (panggilan anjing kesayangan kami) yang belum diberi makan. Hal-hal seperti ini sangat mengganggunya, maka keluarlah serentetan omelan. Namun itu semua sungguh-sungguh tidak membuat kami jera, selalu ada pengampunan, lalu ancaman akan memberitahu kenakalan kami kepada Bapak (dan tidak pernah dilakukan karena Mamak tidak mau kami dipukul Bapak). Psikologi anak pada masa ini mungkin menyalahkan tindakan Mamak. Tetapi kami tidak. Tidak pernah ada satu titik dimana kami tidak menghormati Mamak dan mempermainkan kelembutan hatinya. Kami paham betul, Mamak sayang pada kami, sangat sayang. Tak ada yang tersembunyi dari Mamak, dia tahu siapa anaknya, sedang jujur atau berbohong, sedang sedih atau senang. Pelukan dan senyuman adalah hartanya, makanan kami. Menjadi istri dari seorang yang keras dan sederhana seperti Bapak telah membentuk Mamak untuk lebih sabar dan tabah. Mamak adalah menantu perempuan satu-satunya dikeluarga Bapak. Sering terjadi saya melihatnya menangis dan kecewa karena perkataan dan tindakan tidak menyenangkan dari keluarga Bapak, namun tidak ada inisiatif balasan dari dalam dirinya. Mamak menghormati Bapak dan mengerti benar kedudukan Bapak di keluarga sebagai anak laki-laki tunggal. Tidak pernah berhenti senyum mengalir dari mulutnya kepada mertua dan kakak atau adik iparnya. Pelayanan yang penuh kasih senantiasa menjadi kekuatannya jika siapa saja datang beramu ke rumah kami. Saya sering membalas marah kepada setiap saudara Bapak yang melukainya, tapi Mamak selalu menegur saya dan dengan kasih menjelaskan bahwa panas hati serta dendam tidak menyelesaikan masalah. Cinta kasih, kesabaran, dan kelembutan hatinya telah memberi saya teladan berharga tentang pengampunan, didikan, dan kesetiaan. Terima kasih Ma! Orang tua terbaik yang pernah ada dalam sejarah dunia.

Juga kepada Friska Tiurma Hartati, Taruli Yosephine Suryani, Samuel Maruli Tua, dan Niko anugrah Sion… sahabat-sahabat terbaik yang pernah diciptakan. Betapa indahnya persaudaraan, apabila nama-nama mereka ada di dalamnya. Kebanggaanku, anak-anak ku, dan salibku. Tak terbayangkan kehilangan kedua orang tua pada usia yang sangat muda, tetapi dengan mereka, semuanya menjadi lebih mudah. Saya mengerti bahwa tiap-tiap perkara membentuk kita untuk menjadi semakin sempurna ke arah Teladan Kristus, dan dua kematian berturut-turut yang kami alami dalam waktu yang singkat, telah membuat kami menjadi lebih kuat, satu, berpengharapan, dan mengasihi satu sama lain. Tidak ada adik-adik yang setaat mereka di dunia ini, semua memuji. Keindahan menjadi abang selalu tergambar ketika berada di dekat mereka. Saat ini kami telah jauh dalam jarak satu sama lain. Di Siantar, di Bandung, Yogyakarta, dan mungkin sebentar lagi Australia. Perjumpaan akan menjadi barang yang sangat mahal dan langka, sedih bila mengingat semua ini. Hari Natal menjadi hari yang paling ditunggu, karena semua berkumpul, melebur jadi satu. Bertengkar, tertawa, berpelukan, bercanda, dan bercerita tentang apa saja. Indah! Terima kasih de, karena karakter kalian yang berbeda-beda telah mengajar abang untuk lebih dewasa, bertanggung jawab, dan menjadi lebih baik.

Ibu tiri adalah frasa yang menarik bagi saya. Bagaimanapun, cerita-cerita, pengalaman, dongeng-dongeng, dan film-film, mencitrakan ibu tiri sebagai sosok yang kejam. Benar, mungkin mereka belum pernah bertemu dengan Mama. Dia adalah ibu tiri bagi kami. Bapak menikahinya ketika belum genap setahun setelah Mamak meninggal. Semula, saya menjadi penentang terbesar niat Bapak. Saya melakukan berbagai cara untuk menghalanginya menikah lagi. Namun niat Bapak yang keras dan bujukan dari beberapa saudara membuat saya akhirnya mengijinkannya. Mereka menikah, saya tidak hadir. Namun ternyata, semua itu allah ijinkan dan rencanakan dengan sangat tepat untuk kebaikan kami dan kemuliaan namanya. Yang Bapak nikahi bukan seorang ibu tiri, namun malaikat. Benar, an angel! Hanya setahun mereka bersama, Bapak meninggal. Peristiwa yang hampir saja berhasil dipakai iblis mengguncangkan iman saya. Namun sekali lagi, “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan..” Kematian Bapak adalah awal dari karya ajaib Tuhan bagi keluarga kami, melalui Mama. Mengumpulkan kami di kamar, Mama berjanji untuk tetap setia kepada Allah yang hidup menjalankan tanggung jawabnya sebagai Mama bagi kami. Padahal semua tidak berlangsung dengan baik. Seminggu setelah Bapak meninggal, Oppung doli (Kakek dari pihak Bapak) meninggal. Semua seakan hancur berantakan ketika para namboru (saudara-saudara perempuan Bapak) mengadakan keributan malam setelah penguburan Oppung. Mereka ribut soal harta peninggalan Oppung dan berakhir dengan munculnya statement mengembalikan Mama ke keluarganya. Benar-benar mengerikan, jahat, dan hampir-hampir tak termaafkan. Tapi Mama, apa yang dia perbuat? Walaupun para namboru pergi dari rumah dengan tanpa sopan santun, Mama tetap pada prinsipnya, tidak ada dendam, memaafkan, dan setia pada komitmennya melindungi kami. Hampir-hampir tidak percaya bahwa di dunia ini masih ada orang seperti Mama. Dengan tekanan-tekanan dari banyak pihak dan tuduhan-tuduhan jahat terhadap Mama, kami berkomitmen untuk terus berjuang hidup, dan menjadi keluarganya Allah. Tuhan itu setia, dia menolong Mama, memberinya kekuatan, hikmat, dan kondisi keuangan yang semakin baik. Hampir-hampir tidak ada harapan untuk bertahan hidup kalau hanya dari gaji pensiun Bapak. Mama bekerja pada salah satu yayasan pendidikan di kota kami. Dengan penghasilannya, dia menghidupi ‘keluarga barunya’, sebagai darah dagingnya sendiri. Kasih sayang, perhatian, ketegasan, dan doa-doanya melebihi bahkan ibu kandung manapun di seluruh dunia. Dia benar-benar ibu, memarahi, mengasihi, menghukum, memeluk, mendengar, menghibur, memotivasi, dan mendoakan. Satu-satunya fakta yang saya benci mengenai Mama adalah bahwa Mama bukan ibu kandung kami. Saya benci mengingat fakta itu, namun sekaligus membuat saya senantiasa bersyukur dan menikmati keajaiban itu, bahwa benar, Ibu yang sangat mengasihi kami itu bukanlah ibu kandung kami, namun Malaikat yang Tuhan turunkan ke dunia ini untuk menyadarkan kami bahwa He is there and He is not silent! Kebanggaan terbesar keluarga kami adalah kenyataan bahwa kami memiliki malaikat di dalam wujud Mama, di rumah. Yes Mom, you are an angel! Terima kasih Tuhan, terima kasih Mama!

Ketika SD, saya tumbuh menjadi anak pintar (ehm) yang mulai menunjukkan bakat kepemimpinan. Saya tidak akan pernah melupakan kepala sekolah saya waktu itu, Bapak Sidabutar, yang sungguh-sungguh telah menjadi salah satu malaikat yang dipakai Tuhan membentuk saya. Motivasi yang dia berikan dan keyakinan yang ditunjukkan pada saya telah menolong saya untuk bertumbuh menjadi seorang anak yang mulai mendapatkan jati dirinya. Penting bagi anak kecil untuk diberi tanggung jawab dan kemudian dibimbing untuk melakukannya. Dan itu yang saya terima, tanggung jawab sebagai ketua kelas selama 4 tahun, pujian, teguran, serta bimbingan yang Pak Sidabutar berikan, benar-benar membuat beliau adalah pribadi penting dalam pembentukan saya. Pak Sidabutar, terima kasih!

Masih ketika SD, ada seorang teman bernama Friska Dyana Florentina Panjaitan yang memberi saya pengalaman pertama merasakan aroma kompetisi yang sehat. Dia cerdas dan sebagai gadis kecil, dia bijak. Sejak catur wulan pertama pada kelas satu dia selalu menjadi juara pertama di kelas kami. Yang paling menggangu adalah, saya selalu hanya bisa menjadi yang kedua. Setiap akhir catur wulan, pada penerimaan rapor, selalu menjadi saat-saat mendebarkan, dan (unbelieveable, he-he) dia selalu menjadi pemenang. Sekeras apapun usaha yang saya lakukan seperti tidak ada manfaatnya, saya terus mencoba dan mencoba, selalu dibalas dengan usaha yang lebih keras dari Sang Friska. Bahkan (masih kuat ingatan saya), di awal tahun ajaran, sewaktu kami duduk di kelas 6 SD, dia mengorganisir (wuih) suatu demonstrasi yang memiliki satu tujuan penting : menggulingkan Taor Geovanny Siahaan dari jabatannya sebagai Ketua kelas. Ha-ha, kudeta pertama yang saya alami di dalam hidup, dan berhasil. Saya harus turun, dan dia tersenyum penuh arti. Tetapi dia tetap menjadi teman terbaik ketika itu, yang selalu menjadi pendukung dan pemotivasi saya di sekolah (kecuali peristiwa kudeta itu, he-he). Nomor telepon rumahnya adalah nomor telepon pertama yang saya hafalkan, 263**. Pernah pula kami harus mewakili sekolah kami bertanding cerdas cermat, setelah hasil yang amat baik di awal, kami harus kalah karena satu kesalahan: gadis kecil yang katanya cerdas itu (hi-hi), salah menghitung. Soal yang diberikan tentang keliling persegi panjang, dia hitung luasnya. Saya marah besar, tetapi (lagi) semua orang tetap membelanya, sebagai anak cerdas dan manis (namun tidak tahu menghitung keliling persegi panjang), ha-ha. Fris, terima kasih! Salam plasmodium!

Masa-masa bertumbuh menjadi remaja adalah masa-masa yang membingungkan bagi saya. Kebingungan-kebingungan tanpa henti membuat saya merasa berada di dalam suatu ‘periode diam’ yang tanpa jawaban. Saya mengalami demam cinta pertama ketika kelas 3 SD. Berkunjung meminjam majalah ke rumah gadis kecil itu entah mengapa berubah menjadi aktivitas menyenangkan. Berlama-lama dengannya sambil ngobrol ngalor ngidul seputar pelajaran sekolah kog jadi asyik. Teman-teman bilang itu rasa suka. Katanya saya suka sama Mardyana (nama gadis kecil itu), dan kemudian kalimat itu pun berubah menjadi ledekan. Apalagi gadis kecil yang manis itu lebih tua setahun usianya. Sejak kelas 3 SD saya tidak mengerti apa-apa selain dari fakta bahwa ngobrol dan bermain dengan Mardyana menyenangkan. Namun semua berubah ketika saya duduk dibangku kelas 3 SMP. Mardyana menjadi penting, dan sangat penting dalam pikiran saya. Senyumnya membuat saya tersenyum, dan rasa kangen membuat saya sering mengambil jalan yang lebih jauh untuk membeli minyak tanah, hanya karena jalan itu melewati depan rumahnya. Ha-ha. Tetapi cinta itu menjadi cinta tak berbalas untuk waktu yang sangat lama, 4 tahun. Semua terasa menjadi tidak menyenangkan ketika melihatnya tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, cerdas dan disukai banyak anak laki-laki. Cinta pertama, sekaligus pengalaman pertama menjadi pengagum rahasia. Ada surat berbahasa Inggris yang lucu, ada cincin kecil yang manis, jalan pagi yang menyenangkan, hari natal yang indah, saat-saat marguru malua (sidi) yang tak terlupakan, menonton Anaconda di bioskop, malam minggu di NHKBP yang selalu ditunggu, dyari yang dipenuhi curhat-curhat cupu, dan semuanya adalah kenangan indah. Harus diakui, semua kenangan itu menjadi pembelajaran penting dalam proses pembentukan saya. Terima kasih Mardyana ‘Unyi’ (Rosalina?) Manullang!

Di masa-masa remaja pula saya memiliki Pdt. Benjamin Butar Butar (Bentar) sebagai sahabat pertama saya, bersama Sanggam Ernist Siahaan. Bertiga, kami mengalami masa-masa menyenangkan. Amang Bentar benar-benar salah satu sahabat terbaik yang pernah saya miliki. Dengan usia yang jauh lebih tua, dan status yang berbeda (Dia Pendeta, saya Ketua NHKBP), kami sungguh-sungguh dapat bersahabat. Saya belajar tentang menjadi pria dewasa ketika usia saya masih 13 tahun. Mengajarkan bagaimana menyatakan perasaan cinta kepada cewe, bagaimana bertanggung jawab sebagai pemimpin organisasi, bagaimana berpidato, sampai kepada bagaimana merencanakan sebuah pesta kejutan ulang tahun. Perpisahan dengannya adalah kehilangan pertama yang saya rasakan di dalam hidup. He is my best buddy! Amang, mauliate!

SMU menjadi saat-saat awal menemukan jati diri. Pada masa ini, saya menemukan bahwa menjadi dewasa adalah pilihan. Saya mengerti arti sosialisasi, aktualisasi diri, dan nilai-nilai sebuah tanggung jawab secara lebih mendalam. Mengenal teman-teman di organisasi kesiswaan menjadi bagian yang saya pikir sangat penting dalam pembentukan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab di dalam diri saya. Saya berterima kasih kepada Kak Julia Damanik, Tumpal Pangaribuan, Samuel Eben Ezer Tamba, Franky Christian Silalahi, Corry Ester Siagian, Pittah Haloho, Lisbeth Marice Siagian, dan Moshinta ‘momo’ Siahaan. They are all my buddies! Good friends are always good friends! Oya, mengingat masa SMU, ada satu nama juga yang kepadanya saya harus berterima kasih, Nenny Ika Putri Simarmata (she knows why). Debar-debar ‘penembakan’ pertama benar-benar masih dapat saya ingat sampai hari ini. NIPS, where are you?

Di Jatinangor saya mendapatkannya, Tania Evans, ade ku, teman curhat setia dan sejati, pengkritik terbaik, pendoa syafaatku, angelku, suksesorku, adik rohaniku, orang pertama yang dicari ketika ada masalah, makasi ngga cukup ya, untuk menunjukkan betapa kau telah mengambil bagian penting dalam hari-hariku, mengisinya dengan karang-karang yang kokoh, dan (he-he) akhirnya menempatinya sendiri. Saya berdoa dan bekerja untuk pembentukannya, tetapi Tuhan; bukan saja membentuknya, malahan memberikan dia bagiku sebagai jawaban doa. Tuhan memberikan seorang dari tulang rusukku, yang dibentuk spesial. Satu bintang yang diambil dari langit Nya, lalu diberikan cahaya Nya, dan Dia taruh di langitku yang kecil dan gelap, untuk dipakai menerangiku selamanya. Menjadi berarti dengan seluruh apa yang saya punya, apa yang dia punya, dan apa yang kami rasakan serta alami bersama, Tuhan memakai hubungan ini menjadi berkat bagi banyak orang. Kami berbeda, sangat berbeda. Secara latar belakang, kami datang dari dua komunitas masyarakat yang saling tidak menyukai satu sama lain. Bagi kami keluarga Batak, gadis Cina bukanlah pilihan yang menarik untuk menjadi kekasih. Keluarganya pun begitu. Bagi beberapa orang, hubungan kami tidak rasional, karena segudang perbedaan yang ada. Latar belakang, fisik, prinsip, dan kesenangan, semua berbeda. Jika menikah nanti, saya ingin mengatakan kepada dunia, memang benar, “Kita bisa mencintai siapa saja jika kita inginkan, dan jika Allah ijinkan. Namun untuk bertahan, diperlukan komitmen yang kuat. Dan komitmen yang kuat hanya lahir dari hubungan yang erat antara saya-dia- dan Allah!” Sangat banyak pergumulan yang telah kami lalui bersama, dan sungguh, semuanya semakin mendewasakan kami. Tania Evans dipakai Tuhan untuk menyadarkan saya akan arti sebuah komitmen. Meninggalkannya adalah pilihan yang paling mudah ketika keluarganya menentang keras hubungan kami, namun dengan karunia Tuhan, kami diberikan kekuatan untuk setia pada komitmen. Perbedaan prinsip yang ada menjadi awal dari banyak pertengkaran kecil dan besar. Sekali lagi, mungkin ‘putus’ adalah jawaban paling gampang, namun berubah seturut dengan pimpinan Roh Kudus adalah pilihan kami. Perbedaan sudut pandang terhadap uang, sifat perfeksionisnya, keteledoran saya, sampai masalah adat budaya, pergumulan keluarga, dan panggilan pelayanan, memaksa kami untuk mendiskusikan banyak hal dan saling merendahkan diri. Teringat akan beberapa peristiwa ketika kami menikmati waktu bersama di pusat-pusat keramaian, dan terganggu oleh cara memandang orang pada kami. Mungkin mereka tidak habis pikir apa yang telah dengan begitu kuat dapat menyatukan kami yang sangat berbeda satu sama lain. Tania tinggi, putih, sipit, dan (definitely) cantik. Sedangkan saya dengan tinggi badan semampai (semeter tak sampai, ha-ha), sangar, gendut, berkulit hitam, dan (ya ampun, I hate to say this!) jauh dari menarik. Dari situ saya mengerti, masih banyak orang dangkal di luar sana, yang hanya menilai seseorang dari perbedaan fisik dan ras. Termasuk pendeta sekalipun. Saya teringat Tania pernah bercerita tentang pendeta salah satu gereja besar di Bandung yang menolak guru sekolah minggu dari ras tertentu untuk memegang posisi penting. Ya ampun, masih jaman?

Terima kasih pada bagian ini saya tujukan pada seseorang yang dengan cinta dan komitmennya telah dipakai Tuhan untuk menunjukkan bahwa Tuhan mengasihi saya dan memiliki rencana yang indah bagi hidup saya. Seorang yang diambil dari ketersediaan, yang ditetapkan dan telah digenapkan, lahir dari doa, dan bekerja oleh doa. Tania Evans, makasi buat kritikan, pujian, kesetiaan, penerimaan, cinta, dan ketulusan. Yang dengan setia terus berdoa bagi perubahan saya menuju kepada kedewasaan, menjadi sama seperti Kristus. Terima kasih untuk kebersamaan di Jatinangor, di Pangandaran, di Danau Toba, di Borobudur, di Tangerang, dan di setiap hari-hari yang kita lalui bersama. Terima kasih karena telah mengajariku banyak hal tentang menjadi kekasih, terima kasih untuk utara-selatan, timur-barat hubungan kita. Semua hanya bagi kemuliaan Allah Tritunggal..


--tagesi