Kamis, 13 Maret 2008

Saya bukan Pengkhotbah!!


Lagi pusing dengan banyaknya permintaan 'berkhotbah' di beberapa tempat. Disatu sisi memang bersyukur, berarti masih banyak orang-orang yang rindu pengajaran yang benar (kog jadi seperti self proclaim bahwa pengajaranku benar ya?), atau masih ada saja orang-orang yang mendapat berkat dari 'bahasan-bahasan' yang saya sampaikan (terbukti kan, kalau Tuhan bisa pake siapa dan apa saja, untuk memberkati orang lain).
Tapi yang menjadi titik hirau saya (cie), mengapa berkhotbah? Mengapa bukan konseling, PA kelompok, Eksposisi kitab (khotbah juga ga sih?), atau datang di kelas kecil, atau diskusi, atau hal-hal lain (selain berbicara di depan puluhan atau ratusan orang dengan topik yang itu-itu aja, dan membuat mereka senyum-senyum, tertawa, sebelum akhirnya tertohok -mudah-mudahan).

Orang-orang memang senang dikhotbahin. Apalagi kalau pembicara atau pengkhotbahnya atraktif, lucu, bisa malu-malu in, dan membahas tepat seperti tema yang DIBERIKAN. Khotbah memang menjamin tidak adanya interaksi langsung antara si Pengkhotbah dan yang mendengarkan, jadi ga perlu takut ada dosa yang dibongkar, bisa terlihat kudus dengan pendosa-pendosa lain yang menertawakan dosanya bersama-sama. Apalagi, jika pengkhotbahnya membosankan, tak mengapa, toh waktu yang diberikan terbatas, 40 menit juga selesai. Setelah itu, khotbah selesai, setelah acara basi-basi dan salam-salaman pendek, si pengkhotbah boleh pergi dengan membawa serta amplop yang di sediakan, mungkin sambil tersenyum-senyum karena mengira obatnya laku, dan berharap cemas mengira-ngira berapa isi amplopnya. Begitu kira-kira pandangan 'kritis' beberapa orang. Apalagi, sekarang ini, banyak komentator-komentator yang lebih ahli dari si pengkhotbah.

Khotbah memang menolong, tapi tidak banyak. Tak terhitung lagi berapa banyak khotbah yang telah kita dengarkan sepanjang hidup, tapi bagian mana yang masih kita ingat? Hanya sedikit, mungkin sangat sedikit. Padahal banyak orang yang menggantungkan hidup rohaninya hanya dari khotbah, setelah itu ia merasa cukup bekal untuk bersibuk-sibuk ria, melayani dengan ceria, dan berlaku manis sepanjang minggu. Banyak juga orang yang menelan mentah-mentah 'pil khotbah', menganggap bahwa setiap orang bergelar hamba Tuhan cukup layak dipercaya. Jadilah dia pengikut yang setia, manggut-manggut kalau pendeta sudah berbicara. Yang idealisme kristianinya dibangun atas pola pikir orang lain, disampaikan katanya menurut Alkitab, dalam kurun waktu 40 menit. Melebihi waktu yang diberikan untuk menyanyi, melompat, berdoa, dan mendengar pengumuman. Belum lagi jika pengkhotbahnya hanya peduli perasaan jemaat, kuatir ga diundang lagi, dia mengajak jemaat menertawakan dirinya (saya termasuk tipe seperti ini), persis srimulat. Dari awal sampai akhir, itu-itu saja, jikalau beruntung dan kebetulan pengkhotbah pandai bernyanyi, yah diselingi nyanyian satu dua. Jemaat senang pendeta pulang bawa uang, kapan lagi?

Terus terang, saya miris melihat kondisi seperti di atas. Menjadi pesimis, apakah orang-orang bisa bertumbuh dari khotbah, atau hanya sebagai pelengkap penting dalam ibadah. Seperti jekpot kadang baik, kadang buntung. Padahal, Iman bertumbuh dari pengenalan yang benar akan Allah, dan pengenalan yang benar hanya di dapat dari pengertian yang baik, utuh, dan menyeluruh akan Alkitab.

Kelompok kecil lebih banyak membangun. Pelajaran-pelajaran Alkitab dalam kelas kecil, diskusi-diskusi, dan kelompok eksposisi, memberikan pengertian yang lebih mendalam. Saya rindu memberi waktu lebih di sini, di kost-kostan, di selasar kampus, di warung kopi, di kafe, di mana aja, semua itu menjadi 'mimbar-mimbar' yang sempurna untuk belajar Firman Tuhan.

Ups, sudah hampir jam 11, saya harus ke ITB, untuk BERKHOTBAH , he-he. Saya mau bilang pada mereka, saya bukan pengkhotbah (kog kontradiktif ya?). Saya mau bilang, boleh dindang khotbah, tapi lebih senang kalau ada yang mau datang ke kelas kecil, atau berdiskusi bersama-sama, menemukan sedikit demi sedikit bagaimana mempengaruhi dunia, dimulai dari sekarang, di sini. Mungkin memang 'mimbar' saya di bawah pohon rindang, atau di perpustakaan, atau di kost-kostan.

Nati kita lanjutkan lagi ya!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kalo merasa kotbah cepet dilupain orang...kenapa ga bikin buku aja bang???