Selasa, 04 Maret 2008

GORESAN TERIMAKASIH

Untuk Setiap Pribadi yang Telah Dipakai Membentukku

Sebagai Aku, Apa Adanya Aku

(Bagian Pertama)

Ya Tuhan tiap jam kumemerlukanMU

Engkau lah yang membri sejahtera penuh

Setiap jam ya Tuhan Dikau kuperlukan

Ku datang Juruslamat, berkatilah!

Syair diatas tidak pernah gagal menjalankan tugas dalam menginspirasi dan menguatkan saya. Ketika saya pertama kali mengalungkan dengan bangga status kemahasiswaan di leher, syair itu yang mengingatkan saya pada satu-satunya PENGHARAPAN. Ketika satu-persatu orang yang saya cintai pergi, sekali lagi syair itu dipakai dengan begitu luar biasa untuk mengalirkan penghiburan sejati. Pernah pula, ketika studi dan pelayanan terasa seperti beban yang sangat berat, menjadi begitu nikmat dan menjadi kenangan. Syair itu, sekali lagi begitu menginspirasi (bahkan sampai-sampai dengan segala ketidaksengajaan, tanpa mengurangi rasa hormat kepada penciptanya, syair itu pernah begitu melekat dan menjadi identitas saya). Tidak salah kalau terima kasih pertama saya tujukan kepada pencipta lagu tersebut.

Entah mengapa, saat ini saya tergerak menulis ucapan terima kasih kepada pribadi-pribadi yang saya rasakan benar-benar telah dipakai oleh Tuhan untuk membentuk saya, sebagai aku apa adanya aku. Goresan terima kasih ini saya tujukan untuk menunjukkan betapa saya saya menghargai apa yang telah mereka perbuat bagi pembentukan saya sampai saat ini. Goresan yang saya harapkan dapat pula meninggalkan kesan, untuk setidaknya menjadi pengakuan bahwa si aku apa adanya aku menghargai dan berterima kasih untuk tiap-tiap karang yang telah dibawa dalam hidup saya. Dengan kesadaran penuh, bahwa saya berhutang budi kepada semua pihak yang memungkinkan saya untuk terus-menerus bertumbuh menjadi lebih baik lagi sebagai pelayan Allah.

Harta yang paling berharga adalah keluarga, mutiara tiada tara adalah keluarga, puisi yang paling bermakna adalah keluarga…

Sukacita yang sangat besar bagi saya untuk memberikan terima kasih terbesar kepada keluarga. Motivasi, harapan, penghargaan, dan kebanggaan mereka adalah alasan bagi saya untuk berbuat yang terbaik. Tidak semua orang beruntung ditempatkan di dalam suatu keluarga yang begitu luar biasa, tim yang solid, rumah yang kokoh, ikatan yang kuat, dan doa yang berkuasa..

Kehidupan tidak pernah begitu mudah. Terlahir dari sepasang suami-istri yang begitu sederhana ternyata sangat dominan dipakai Tuhan membentuk dan mempengaruhi hidup saya. Bapak (Hamonangan Siahaan) adalah pribadi pertama yang menyadarkan saya bahwa kemiskinan adalah anugrah. Begitu banyak buku-buku dan kata-kata bijak ber- ‘filosofi’ yang mendengung-dengungkan bahwa kemiskinan adalah selalu ‘kutuk’ dari kebodohan dan kemalasan. Mereka kelihatannya belum pernah mengenal bapak. Dia begitu mengerti dan menghayati arti Ucapan Berbahagia di dalam Kitab Injil Matius 5:3. ‘Kemiskinan Di hadapan Allah’ adalah pondasi utama hidupnya. Dia bukan pemuja kemiskinan yang berpuas diri dan memandang salah para orang kaya, bukan begitu maksudnya. Dia justru tidak senang terhadap orang-orang yang hidup miskin secara harta karena kemalasan dan kebodohannya. Bapak bekerja keras, lebih keras dari orang kebanyakan. Bagi kami anak-anaknya, dekat dengan bapak artinya bekerja, berkarya. Melihat ada mahluk bernyawa yang makan tanpa bekerja, baginya itu berarti penistaan terhadap harkat dan martabat diri orang itu sendiri. Jadi jelas, dia pekerja keras, tetapi kemiskinan masih masih menjadi cara hidupnya. Berpikir kalau bapak adalah pekerja keras tetapi juga bukan pekerja cerdas adalah juga suatu kesalahan. Dia seorang pembelajar tulen, asli, bukan karbitan. Ide-idenya lahir dari proses berpikir, segar, bukan contekan. Dia menghargai proses belajar sebesar dia melakukannya. Bekerja sebagai buruh di salah satu Bank Pemerintah tidak membuatnya hanya melulu tahu tentang perkreditan. Dia mengerti theologia, paham politik, dia menceritakan pada saya siapa itu Mozart, Bach, dan Bethoven dengan begitu lengkap dan detail. Napoleon dibuang ke Pulau Elba sudah saya ketahui sedari TK. Sepulang sekolah minggu saya pernah sekedar bertanya padanya siapa itu Martin Luther, namun sorenya saya harus duduk di sampingnya berjam-jam untuk mendengar kisah tentang Luther yang berdoa kepada Santa Anna, 95 Dalil, sampai kepada buku Summa Theologia yang habis-habisan dikritik Luther, padahal telah menjadi semacam ‘alkitab kedua’ selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Dengan ter-bengong-bengong saya mengangguk dan selanjutnya baru mengerti semuanya itu belasan tahun setelah itu, di bangku kuliah. Cerita-cerita pengantar tidur kami bukan sekedar kancil mencuri ketimun. Masa kecil kami sudah dipenuhi dengan kisah Anastasia, Raja Arthur, Putri Genoveva, dan bahkan cerita-cerita klasik milik Shakespeare yang kemudian baru kami pelajari di kelas bahasa Inggris bertahun-tahun kemudian. Ada banyak kisah-kisah berbobot lain yang saya yakin tidak diketahui oleh anak-anak lain di dunia ini, semua itu mengalir cerdas dari pikiran-pikirannya. sejak kecil, Bapak selalu memperlakukan kami sebagai ‘murid-murid’ atau teman berdiskusi yang sepertinya mengerti benar apa yang dia bicarakan. Masih banyak lagi penjelasan-penjelasan yang dapat saya paparkan sebagai bukti bahwa bapak adalah orang cerdas. Jelas, dia pengagum kemiskinan yang cerdas dan pekerja keras. Baginya, Tuhan telah sedemikian jelas menegaskan bahwa kebergantungan penuh kepada Tuhan haruslah menjadi gaya hidup. Seperti seekor rusa yang tidak pernah jauh dari sungai. Secara radikal Bapak berpendapat bahwa segala kemapanan, kemewahan, kekayaan, dan kenyamanan yang seharusnya dapat mendorong kita untuk lebih indah lagi berkarya bagi Tuhan, justru seringkali berhasil menyeret kita kearah kesombongan diri, dan keegoisan. Menjadi berhenti belajar, malas berkarya, berhenti berpengharapan kepada Allah, dan benar-benar berfokus pada ‘nilai diri’. Bapak bilang, kemiskinan mengajarkan kita bahwa tidak semua kerja keras diganjar dengan keberhasilan, tidak semua yang nyaman itu indah, dan tidak semua kebahagiaan bisa dibeli. Justru dengan tetap miskin dan sederhana walaupun telah bekerja keras dan menjadi cerdas dengan belajar, kita diajarkan bahwa setiap usaha dan karya yang kita hasilkan bukanlah untuk membuat kita meras berhak atas sebuah keberhasilan, penghidupan yang mewah, dan kehormatan. Bekerja dan belajar adalah upaya kita untuk memaknai kenyataan bahwa kita ini adalah cerminan dari Allah. Agar jangan ada orang yang melihat kita tidak melihat Allah dan pekerjaan-Nya di dalam kita. Lalu bagaimana kita makan, minum, dan mendapatkan segala fasilitas untuk tetap hidup dan maksimal dalam berkarya, semuanya itu adalah anugrah, yang pun nantinya harus tetap dipertanggung jawabkan. Maka Bapak adalah orang keras yang cerdas, orang cerdas yang keras. Yang mendidik anaknya dengan ikat pinggang (mungkin karena rotan susah dicari), pemikiran, dan pelukan. Terima kasih terbesar adalah untuk Bapak, atas pemikiran, teladan dan hidupnya yang begitu mempengaruhi saya.

Lalu Mamak? Saya tak habis pikir mengapa Mamak setuju menikah dengan Bapak. Selain dari pemikiran, ketegasan, dan kerja keras, entah apa yang dia punya dulu. Menurut saya, kebanyakan remaja putri (dari tahun 80-an sampai sekarang) tidak pernah benar-benar tertarik dengan pemuda tanpa uang dan tampang. Jelas Bapak tidak punya itu. Saya pernah secara serius menanyakan ini kepadanya, dan dia hanya tersenyum. Selanjutnya, kisah yang selalu mewarnai hari-hari keluarga kami adalah kisah tentang Bapak yang tidak pernah menyerah dan tanpa tau malu mendekati Mamak, yang kala itu katanya sama cantiknya dengan Meriam Belina dengan rambut panjang bergelombangnya. Dan Mamak dengan kesal terpaksa harus setuju dipacari seorang pemuda eksentrik yang sepertinya tanpa harapan. Penilaian saya sebagai anak mereka, Bapak tergila-gila akan kecantikan dan kelembutan hati Mamak, dan Mamak (walaupun tak mau berterus terang) pasti tergila-gila dengan karisma dan pesona kecerdasan Bapak. Ya, Mamak adalah seorang wanita yang cantik dan lembut. Sayang kedua kelebihan itu tidak menurun kepada saya. Tampang jelek dan kecerdasan (ehm) Bapak adalah warisan saya. Mamak bukanlah wanita yang kecerdasannya di atas rata-rata, seperti Bapak. Saya perhatikan, terkadang Mamak mengeluh juga dengan ocehan dan pertanyaan-pertanyaan Bapak yang entah dari mana dan tentang apa saja. Tetapi beliau punya kelembutan hati, dan ini menjadi daya tarik utamanya. Ketegasan Bapak senantiasa diimbangi oleh kelembutan Mamak. Tempat mengadu yang paling teduh. Hanya saja, kami harus tahu waktu dan kesempatan. Mamak punya kelebihan lain yang tidak kami suka, cerewet. Itu karena hal-hal kecil, detail, dan kompleks. Mungkin karena kemeja sekolah yang dikeluarkan dari dalam celana, atau buku pelajaran yang tanpa sampul, rambut yang tidak disisir rapi, piring-piring kotor yang belum dicuci, halaman rumah yang belum dibersihkan, anak-anak nakal yang susah tidur siang, sampai kepada si Bomber (panggilan anjing kesayangan kami) yang belum diberi makan. Hal-hal seperti ini sangat mengganggunya, maka keluarlah serentetan omelan. Namun itu semua sungguh-sungguh tidak membuat kami jera, selalu ada pengampunan, lalu ancaman akan memberitahu kenakalan kami kepada Bapak (dan tidak pernah dilakukan karena Mamak tidak mau kami dipukul Bapak). Psikologi anak pada masa ini mungkin menyalahkan tindakan Mamak. Tetapi kami tidak. Tidak pernah ada satu titik dimana kami tidak menghormati Mamak dan mempermainkan kelembutan hatinya. Kami paham betul, Mamak sayang pada kami, sangat sayang. Tak ada yang tersembunyi dari Mamak, dia tahu siapa anaknya, sedang jujur atau berbohong, sedang sedih atau senang. Pelukan dan senyuman adalah hartanya, makanan kami. Menjadi istri dari seorang yang keras dan sederhana seperti Bapak telah membentuk Mamak untuk lebih sabar dan tabah. Mamak adalah menantu perempuan satu-satunya dikeluarga Bapak. Sering terjadi saya melihatnya menangis dan kecewa karena perkataan dan tindakan tidak menyenangkan dari keluarga Bapak, namun tidak ada inisiatif balasan dari dalam dirinya. Mamak menghormati Bapak dan mengerti benar kedudukan Bapak di keluarga sebagai anak laki-laki tunggal. Tidak pernah berhenti senyum mengalir dari mulutnya kepada mertua dan kakak atau adik iparnya. Pelayanan yang penuh kasih senantiasa menjadi kekuatannya jika siapa saja datang beramu ke rumah kami. Saya sering membalas marah kepada setiap saudara Bapak yang melukainya, tapi Mamak selalu menegur saya dan dengan kasih menjelaskan bahwa panas hati serta dendam tidak menyelesaikan masalah. Cinta kasih, kesabaran, dan kelembutan hatinya telah memberi saya teladan berharga tentang pengampunan, didikan, dan kesetiaan. Terima kasih Ma! Orang tua terbaik yang pernah ada dalam sejarah dunia.

Juga kepada Friska Tiurma Hartati, Taruli Yosephine Suryani, Samuel Maruli Tua, dan Niko anugrah Sion… sahabat-sahabat terbaik yang pernah diciptakan. Betapa indahnya persaudaraan, apabila nama-nama mereka ada di dalamnya. Kebanggaanku, anak-anak ku, dan salibku. Tak terbayangkan kehilangan kedua orang tua pada usia yang sangat muda, tetapi dengan mereka, semuanya menjadi lebih mudah. Saya mengerti bahwa tiap-tiap perkara membentuk kita untuk menjadi semakin sempurna ke arah Teladan Kristus, dan dua kematian berturut-turut yang kami alami dalam waktu yang singkat, telah membuat kami menjadi lebih kuat, satu, berpengharapan, dan mengasihi satu sama lain. Tidak ada adik-adik yang setaat mereka di dunia ini, semua memuji. Keindahan menjadi abang selalu tergambar ketika berada di dekat mereka. Saat ini kami telah jauh dalam jarak satu sama lain. Di Siantar, di Bandung, Yogyakarta, dan mungkin sebentar lagi Australia. Perjumpaan akan menjadi barang yang sangat mahal dan langka, sedih bila mengingat semua ini. Hari Natal menjadi hari yang paling ditunggu, karena semua berkumpul, melebur jadi satu. Bertengkar, tertawa, berpelukan, bercanda, dan bercerita tentang apa saja. Indah! Terima kasih de, karena karakter kalian yang berbeda-beda telah mengajar abang untuk lebih dewasa, bertanggung jawab, dan menjadi lebih baik.

Ibu tiri adalah frasa yang menarik bagi saya. Bagaimanapun, cerita-cerita, pengalaman, dongeng-dongeng, dan film-film, mencitrakan ibu tiri sebagai sosok yang kejam. Benar, mungkin mereka belum pernah bertemu dengan Mama. Dia adalah ibu tiri bagi kami. Bapak menikahinya ketika belum genap setahun setelah Mamak meninggal. Semula, saya menjadi penentang terbesar niat Bapak. Saya melakukan berbagai cara untuk menghalanginya menikah lagi. Namun niat Bapak yang keras dan bujukan dari beberapa saudara membuat saya akhirnya mengijinkannya. Mereka menikah, saya tidak hadir. Namun ternyata, semua itu allah ijinkan dan rencanakan dengan sangat tepat untuk kebaikan kami dan kemuliaan namanya. Yang Bapak nikahi bukan seorang ibu tiri, namun malaikat. Benar, an angel! Hanya setahun mereka bersama, Bapak meninggal. Peristiwa yang hampir saja berhasil dipakai iblis mengguncangkan iman saya. Namun sekali lagi, “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan..” Kematian Bapak adalah awal dari karya ajaib Tuhan bagi keluarga kami, melalui Mama. Mengumpulkan kami di kamar, Mama berjanji untuk tetap setia kepada Allah yang hidup menjalankan tanggung jawabnya sebagai Mama bagi kami. Padahal semua tidak berlangsung dengan baik. Seminggu setelah Bapak meninggal, Oppung doli (Kakek dari pihak Bapak) meninggal. Semua seakan hancur berantakan ketika para namboru (saudara-saudara perempuan Bapak) mengadakan keributan malam setelah penguburan Oppung. Mereka ribut soal harta peninggalan Oppung dan berakhir dengan munculnya statement mengembalikan Mama ke keluarganya. Benar-benar mengerikan, jahat, dan hampir-hampir tak termaafkan. Tapi Mama, apa yang dia perbuat? Walaupun para namboru pergi dari rumah dengan tanpa sopan santun, Mama tetap pada prinsipnya, tidak ada dendam, memaafkan, dan setia pada komitmennya melindungi kami. Hampir-hampir tidak percaya bahwa di dunia ini masih ada orang seperti Mama. Dengan tekanan-tekanan dari banyak pihak dan tuduhan-tuduhan jahat terhadap Mama, kami berkomitmen untuk terus berjuang hidup, dan menjadi keluarganya Allah. Tuhan itu setia, dia menolong Mama, memberinya kekuatan, hikmat, dan kondisi keuangan yang semakin baik. Hampir-hampir tidak ada harapan untuk bertahan hidup kalau hanya dari gaji pensiun Bapak. Mama bekerja pada salah satu yayasan pendidikan di kota kami. Dengan penghasilannya, dia menghidupi ‘keluarga barunya’, sebagai darah dagingnya sendiri. Kasih sayang, perhatian, ketegasan, dan doa-doanya melebihi bahkan ibu kandung manapun di seluruh dunia. Dia benar-benar ibu, memarahi, mengasihi, menghukum, memeluk, mendengar, menghibur, memotivasi, dan mendoakan. Satu-satunya fakta yang saya benci mengenai Mama adalah bahwa Mama bukan ibu kandung kami. Saya benci mengingat fakta itu, namun sekaligus membuat saya senantiasa bersyukur dan menikmati keajaiban itu, bahwa benar, Ibu yang sangat mengasihi kami itu bukanlah ibu kandung kami, namun Malaikat yang Tuhan turunkan ke dunia ini untuk menyadarkan kami bahwa He is there and He is not silent! Kebanggaan terbesar keluarga kami adalah kenyataan bahwa kami memiliki malaikat di dalam wujud Mama, di rumah. Yes Mom, you are an angel! Terima kasih Tuhan, terima kasih Mama!

Ketika SD, saya tumbuh menjadi anak pintar (ehm) yang mulai menunjukkan bakat kepemimpinan. Saya tidak akan pernah melupakan kepala sekolah saya waktu itu, Bapak Sidabutar, yang sungguh-sungguh telah menjadi salah satu malaikat yang dipakai Tuhan membentuk saya. Motivasi yang dia berikan dan keyakinan yang ditunjukkan pada saya telah menolong saya untuk bertumbuh menjadi seorang anak yang mulai mendapatkan jati dirinya. Penting bagi anak kecil untuk diberi tanggung jawab dan kemudian dibimbing untuk melakukannya. Dan itu yang saya terima, tanggung jawab sebagai ketua kelas selama 4 tahun, pujian, teguran, serta bimbingan yang Pak Sidabutar berikan, benar-benar membuat beliau adalah pribadi penting dalam pembentukan saya. Pak Sidabutar, terima kasih!

Masih ketika SD, ada seorang teman bernama Friska Dyana Florentina Panjaitan yang memberi saya pengalaman pertama merasakan aroma kompetisi yang sehat. Dia cerdas dan sebagai gadis kecil, dia bijak. Sejak catur wulan pertama pada kelas satu dia selalu menjadi juara pertama di kelas kami. Yang paling menggangu adalah, saya selalu hanya bisa menjadi yang kedua. Setiap akhir catur wulan, pada penerimaan rapor, selalu menjadi saat-saat mendebarkan, dan (unbelieveable, he-he) dia selalu menjadi pemenang. Sekeras apapun usaha yang saya lakukan seperti tidak ada manfaatnya, saya terus mencoba dan mencoba, selalu dibalas dengan usaha yang lebih keras dari Sang Friska. Bahkan (masih kuat ingatan saya), di awal tahun ajaran, sewaktu kami duduk di kelas 6 SD, dia mengorganisir (wuih) suatu demonstrasi yang memiliki satu tujuan penting : menggulingkan Taor Geovanny Siahaan dari jabatannya sebagai Ketua kelas. Ha-ha, kudeta pertama yang saya alami di dalam hidup, dan berhasil. Saya harus turun, dan dia tersenyum penuh arti. Tetapi dia tetap menjadi teman terbaik ketika itu, yang selalu menjadi pendukung dan pemotivasi saya di sekolah (kecuali peristiwa kudeta itu, he-he). Nomor telepon rumahnya adalah nomor telepon pertama yang saya hafalkan, 263**. Pernah pula kami harus mewakili sekolah kami bertanding cerdas cermat, setelah hasil yang amat baik di awal, kami harus kalah karena satu kesalahan: gadis kecil yang katanya cerdas itu (hi-hi), salah menghitung. Soal yang diberikan tentang keliling persegi panjang, dia hitung luasnya. Saya marah besar, tetapi (lagi) semua orang tetap membelanya, sebagai anak cerdas dan manis (namun tidak tahu menghitung keliling persegi panjang), ha-ha. Fris, terima kasih! Salam plasmodium!

Masa-masa bertumbuh menjadi remaja adalah masa-masa yang membingungkan bagi saya. Kebingungan-kebingungan tanpa henti membuat saya merasa berada di dalam suatu ‘periode diam’ yang tanpa jawaban. Saya mengalami demam cinta pertama ketika kelas 3 SD. Berkunjung meminjam majalah ke rumah gadis kecil itu entah mengapa berubah menjadi aktivitas menyenangkan. Berlama-lama dengannya sambil ngobrol ngalor ngidul seputar pelajaran sekolah kog jadi asyik. Teman-teman bilang itu rasa suka. Katanya saya suka sama Mardyana (nama gadis kecil itu), dan kemudian kalimat itu pun berubah menjadi ledekan. Apalagi gadis kecil yang manis itu lebih tua setahun usianya. Sejak kelas 3 SD saya tidak mengerti apa-apa selain dari fakta bahwa ngobrol dan bermain dengan Mardyana menyenangkan. Namun semua berubah ketika saya duduk dibangku kelas 3 SMP. Mardyana menjadi penting, dan sangat penting dalam pikiran saya. Senyumnya membuat saya tersenyum, dan rasa kangen membuat saya sering mengambil jalan yang lebih jauh untuk membeli minyak tanah, hanya karena jalan itu melewati depan rumahnya. Ha-ha. Tetapi cinta itu menjadi cinta tak berbalas untuk waktu yang sangat lama, 4 tahun. Semua terasa menjadi tidak menyenangkan ketika melihatnya tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, cerdas dan disukai banyak anak laki-laki. Cinta pertama, sekaligus pengalaman pertama menjadi pengagum rahasia. Ada surat berbahasa Inggris yang lucu, ada cincin kecil yang manis, jalan pagi yang menyenangkan, hari natal yang indah, saat-saat marguru malua (sidi) yang tak terlupakan, menonton Anaconda di bioskop, malam minggu di NHKBP yang selalu ditunggu, dyari yang dipenuhi curhat-curhat cupu, dan semuanya adalah kenangan indah. Harus diakui, semua kenangan itu menjadi pembelajaran penting dalam proses pembentukan saya. Terima kasih Mardyana ‘Unyi’ (Rosalina?) Manullang!

Di masa-masa remaja pula saya memiliki Pdt. Benjamin Butar Butar (Bentar) sebagai sahabat pertama saya, bersama Sanggam Ernist Siahaan. Bertiga, kami mengalami masa-masa menyenangkan. Amang Bentar benar-benar salah satu sahabat terbaik yang pernah saya miliki. Dengan usia yang jauh lebih tua, dan status yang berbeda (Dia Pendeta, saya Ketua NHKBP), kami sungguh-sungguh dapat bersahabat. Saya belajar tentang menjadi pria dewasa ketika usia saya masih 13 tahun. Mengajarkan bagaimana menyatakan perasaan cinta kepada cewe, bagaimana bertanggung jawab sebagai pemimpin organisasi, bagaimana berpidato, sampai kepada bagaimana merencanakan sebuah pesta kejutan ulang tahun. Perpisahan dengannya adalah kehilangan pertama yang saya rasakan di dalam hidup. He is my best buddy! Amang, mauliate!

SMU menjadi saat-saat awal menemukan jati diri. Pada masa ini, saya menemukan bahwa menjadi dewasa adalah pilihan. Saya mengerti arti sosialisasi, aktualisasi diri, dan nilai-nilai sebuah tanggung jawab secara lebih mendalam. Mengenal teman-teman di organisasi kesiswaan menjadi bagian yang saya pikir sangat penting dalam pembentukan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab di dalam diri saya. Saya berterima kasih kepada Kak Julia Damanik, Tumpal Pangaribuan, Samuel Eben Ezer Tamba, Franky Christian Silalahi, Corry Ester Siagian, Pittah Haloho, Lisbeth Marice Siagian, dan Moshinta ‘momo’ Siahaan. They are all my buddies! Good friends are always good friends! Oya, mengingat masa SMU, ada satu nama juga yang kepadanya saya harus berterima kasih, Nenny Ika Putri Simarmata (she knows why). Debar-debar ‘penembakan’ pertama benar-benar masih dapat saya ingat sampai hari ini. NIPS, where are you?

Di Jatinangor saya mendapatkannya, Tania Evans, ade ku, teman curhat setia dan sejati, pengkritik terbaik, pendoa syafaatku, angelku, suksesorku, adik rohaniku, orang pertama yang dicari ketika ada masalah, makasi ngga cukup ya, untuk menunjukkan betapa kau telah mengambil bagian penting dalam hari-hariku, mengisinya dengan karang-karang yang kokoh, dan (he-he) akhirnya menempatinya sendiri. Saya berdoa dan bekerja untuk pembentukannya, tetapi Tuhan; bukan saja membentuknya, malahan memberikan dia bagiku sebagai jawaban doa. Tuhan memberikan seorang dari tulang rusukku, yang dibentuk spesial. Satu bintang yang diambil dari langit Nya, lalu diberikan cahaya Nya, dan Dia taruh di langitku yang kecil dan gelap, untuk dipakai menerangiku selamanya. Menjadi berarti dengan seluruh apa yang saya punya, apa yang dia punya, dan apa yang kami rasakan serta alami bersama, Tuhan memakai hubungan ini menjadi berkat bagi banyak orang. Kami berbeda, sangat berbeda. Secara latar belakang, kami datang dari dua komunitas masyarakat yang saling tidak menyukai satu sama lain. Bagi kami keluarga Batak, gadis Cina bukanlah pilihan yang menarik untuk menjadi kekasih. Keluarganya pun begitu. Bagi beberapa orang, hubungan kami tidak rasional, karena segudang perbedaan yang ada. Latar belakang, fisik, prinsip, dan kesenangan, semua berbeda. Jika menikah nanti, saya ingin mengatakan kepada dunia, memang benar, “Kita bisa mencintai siapa saja jika kita inginkan, dan jika Allah ijinkan. Namun untuk bertahan, diperlukan komitmen yang kuat. Dan komitmen yang kuat hanya lahir dari hubungan yang erat antara saya-dia- dan Allah!” Sangat banyak pergumulan yang telah kami lalui bersama, dan sungguh, semuanya semakin mendewasakan kami. Tania Evans dipakai Tuhan untuk menyadarkan saya akan arti sebuah komitmen. Meninggalkannya adalah pilihan yang paling mudah ketika keluarganya menentang keras hubungan kami, namun dengan karunia Tuhan, kami diberikan kekuatan untuk setia pada komitmen. Perbedaan prinsip yang ada menjadi awal dari banyak pertengkaran kecil dan besar. Sekali lagi, mungkin ‘putus’ adalah jawaban paling gampang, namun berubah seturut dengan pimpinan Roh Kudus adalah pilihan kami. Perbedaan sudut pandang terhadap uang, sifat perfeksionisnya, keteledoran saya, sampai masalah adat budaya, pergumulan keluarga, dan panggilan pelayanan, memaksa kami untuk mendiskusikan banyak hal dan saling merendahkan diri. Teringat akan beberapa peristiwa ketika kami menikmati waktu bersama di pusat-pusat keramaian, dan terganggu oleh cara memandang orang pada kami. Mungkin mereka tidak habis pikir apa yang telah dengan begitu kuat dapat menyatukan kami yang sangat berbeda satu sama lain. Tania tinggi, putih, sipit, dan (definitely) cantik. Sedangkan saya dengan tinggi badan semampai (semeter tak sampai, ha-ha), sangar, gendut, berkulit hitam, dan (ya ampun, I hate to say this!) jauh dari menarik. Dari situ saya mengerti, masih banyak orang dangkal di luar sana, yang hanya menilai seseorang dari perbedaan fisik dan ras. Termasuk pendeta sekalipun. Saya teringat Tania pernah bercerita tentang pendeta salah satu gereja besar di Bandung yang menolak guru sekolah minggu dari ras tertentu untuk memegang posisi penting. Ya ampun, masih jaman?

Terima kasih pada bagian ini saya tujukan pada seseorang yang dengan cinta dan komitmennya telah dipakai Tuhan untuk menunjukkan bahwa Tuhan mengasihi saya dan memiliki rencana yang indah bagi hidup saya. Seorang yang diambil dari ketersediaan, yang ditetapkan dan telah digenapkan, lahir dari doa, dan bekerja oleh doa. Tania Evans, makasi buat kritikan, pujian, kesetiaan, penerimaan, cinta, dan ketulusan. Yang dengan setia terus berdoa bagi perubahan saya menuju kepada kedewasaan, menjadi sama seperti Kristus. Terima kasih untuk kebersamaan di Jatinangor, di Pangandaran, di Danau Toba, di Borobudur, di Tangerang, dan di setiap hari-hari yang kita lalui bersama. Terima kasih karena telah mengajariku banyak hal tentang menjadi kekasih, terima kasih untuk utara-selatan, timur-barat hubungan kita. Semua hanya bagi kemuliaan Allah Tritunggal..


--tagesi

Tidak ada komentar: