Selasa, 11 April 2017

Kinara, Tuhan Meluputkanmu Dari Maut, Untuk Apa?

Seorang Balita berusia 4 tahun bernama Kinara, melihat sendiri satu persatu keluarganya dihabisi. Mungkin dengan ketakutan dia berlari dan sembunyi dikolong tempat tidur, sambil menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara atau rintihan sekecil apapun. Dan lenguhan bahkan teriakan penderitaan Naya dan Gilang, kedua kakaknya, mungkin terdengar jelas di telinganya. Luka-luka yang dialami Kinara, menunjukkan kalau dia pun sempat dianiya. Sebagai Papa dari anak-anak seusia Kinara, aku membayangkan aku berusaha melakukan perlawanan sampai sisa nafas dan tetes darah terakhir, sambil memberikan kode supaya anak-anakku bisa lari atau bersembunyi.

Apa yang dilihat Kinara?
Apakah perlawanan Ayahnya yang tak mempedulikan nyawanya demi satu kesempatan bagi anaknya untuk lari atau bersembunyi?
Apakah ketidakberdayaan Naya dan Gilang, kakak-kakaknya yang dibantai dihadapannya?
Apakah teriakan panik dan putus asa Ibunya, yang histeris melihat orang-orang yang dicintainya meregang nyawa?
Apakah wajah dingin si pembantai yang mengabaikan teriakan minta ampun, atau bahkan si sadis itu menghabisi satu persatu korbannya dengan senyum dan seringai puas?
Aku tidak berani memilih, mungkin satu mungkin semuanya. Kinara melihatnya, Kinara mengalaminya, Kinara sembunyi ketakutan di bawah tempat tidur, sampai kemudian ditemukan, berjam-jam setelah peristiwa menyeramkan itu berlalu.
Kinara akan hidup dengan bayangan yang menari-nari di kepalanya, selamanya. Jangan coba entengkan masalah. Selamanya..

Lalu apa?

Selalu ada pertanyaan. Dan pertanyaanku kali ini mungkin adalah pertanyaan yang sering muncul dalam kesulitan, penderitaan, kesengsaraan. Jadi aku ubah sedikit. Aku bertanya, "Mengapa Tuhan meluputkan Kinara dari maut, yang sangat dekat darinya?"
Bukankah lebih baik, Kinara ikut saja bertemu Khalik, bersama keluarganya? Trauma itu tidak lagi menghantuinya, pertanyaan akan masa depannya tidak perlu muncul. Kita akan mengingat tragedi ini seminggu atau sebulan, si Pelaku mungkin dihukum mati, lalu selesai. Tidak ada lagi cerita tentang seorang anak berusia 4 tahun yang berjuang sendiri, untuk lepas dari kesedihan, ingatan, trauma, dendam, ketidakpastian masa depan, hilangnya cinta dari Mama-Papanya, dan semua hal lain yang merupakan dampak dari peristiwa ini.

Mataku ingin beranjak dari Kinara, dan melihat ke Riyanto, Papanya. Kenapa Riyanto (dalam imajinasiku), berupaya untuk menyelamatkan Kinara? Apakah sang Papa, sedikitpun tidak berpikir, akan seperti apa nasib anak kesayangannya, jika selamat dari peristiwa itu? Sepertinya tidak. Lalu apa yang dia pikirkan? Mungkin tidak ada. Dia tidak berpikir apa-apa, selain menyelamatkan anaknya. Untuk apa? Dia tidak tahu..

Tapi, tapi.. Riyanto, Papa Kirana melihat sesuatu. Harapan.. Hope!!
Selagi masih hidup, pasti masih ada harapan. Harapan, bahwa Kinara anaknya akan bisa lepas dari traumanya, harapan bahwa ada seseorang yang akan berbaik hati membesarkan anaknya. Harapan bahwa keluarganya yang menerima sumbangan dari para dermawan, benar-benar amanah, dan menggunakannya untuk kebutuhan Kinara. Harapan bahwa setelahnya berita ini akan besar, dan menarik perhatian seorang Gubernur untuk datang dan menaruh iba pada Kinara. Dan tentu, harapan bahwa Gubernur tersebut tidak mencium dan mengusap usap kepala Kinara di depan kamera wartawan, untuk pencitraan saja. Namun sungguh-sungguh berbuat untuk menjamin masa depan Kinara, setidaknya dalam bentuk materi lah, kan Gubernur kaya.

Mungkin terakhir, harapan bahwa Kinara lewat peristiwa ini akan mendendam pada kejahatan, seperti Bruce Wayne yang menerjemahkan dendamnya dalam bentuk perlawanan Batman pada kejahatan di Gotham City. Siapa tahu, Kinara kelak akan menjadi Bruce Wayne nya Medan City.

Kejahatan di Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara seolah larut dan menyatu dengan perilaku korup para pemerintahnya yang berjilid-jilid selalu terkait dengan KPK. Komisaris Polisi seperti James Gordon dan Polisi Baik seperti John Blake, tidak lagi cukup. Medan sudah seperti hutan belantara tempat para penjahat berkuasa. Apakah mungkin, Medan lepas dari sejarah kelam premanisme dan kekerasannya? Mungkin. Namun itu sama seperti berharap agar ada kepemimpinan yang baik di pemerintahan. Kata Ahok, kalau Kepalanya benar, kebawahnya pasti benar. Kalau tidak, dipotong saja.

Aku melihat cahaya yang sama. Harapan. Harapan itu mahal. People will pay at any cost for Hope! Semua orang menjual harapan. Harapan bahwa kelak bayi nya akan tumbuh menjadi pemuda pintar yang gagah, harapan bahwa kelak pacarnya jadi istri yang solehah, harapan bahwa kelak pengalamannya akan membawa dia pada level yang tertinggi dalam karir, harapan bahwa kelak bisnis kecil yang dia mulai akan memberikan kesempatan kerja kepada sejuta anak negeri, harapan bahwa kelak polisi kota Medan dan Negeri ini akan membalas kepercayaan masyarakat dengan memberikan keamanan dan ketenangan, bukan malah suasana ketakutan dan intimidasi karena menangnya premanisme dan pelaku kejahatan, harapan bahwa kelak si Kerempeng yang dicoblosnya dikertas pemilu 3 tahun lalu akan membawa negerinya menuju welfare state.

Aku tahu, Kinara akan berjuang untuk lepas dari traumanya. Hidup akan sangat keras baginya sekarang, tidak ada lagi usapan tulus dikepalanya, dan ciuman hangat di keningnya (Aku sedang bicara tentang orangtuanya, tidak sedang mengatakan bahwa usapan dan ciuman Gubernur itu tidak tulus dan hanya pencitraan belaka. Itu, hatimu yang bilang.). Namun kini dia punya Harapan.

Sekarang, terpulang pada kita. Jaga Harapan, dan tetap hidup; atau lempar harapanmu, dan matilah!
Aku akan menjaga harapanku.

Pula terpulang pada Tuhan. Bukan mau menantang Sang Khalik, tapi Harapan adalah pemberianNya. Dia yang akan menjaganya, Dia pula yang mewujudkannya.

Kinara, terima kasih.



Bukan Elegi


Kisah itu sebuah jalan

Diputus dan disambungkan
oleh kerikil atau pekat aspal yang seperti asa dalam gumpalan
dalam senja kesumba aku bermimpi
ketika  mematutkan diri ditelaga yang tak berair lagi
ada siluet yang tersenyum seperti tak asing
 Kisah ini bukan elegi
Karena jalan tak selalu bertepi