Kamis, 08 April 2010

Ingatkah kita tentang Simon Petrus, murid Yesus yang pernah menyangkal Nya sampai tiga kali ketika Sang Guru diperhadapkan kepada Imam Besar untuk diadili?

Ada satu kisah lain tentang Petrus yang tidak ditulis dalam Alkitab namun tercatat dalam buku sejarah Gereja.

Pada tahun 64 Masehi, Kaisar Nero membakar kota Roma dan menuduh orang Kristen sebagai pelakunya. Kaisar Nero sangat membenci kekristenan, dan kerap menyiksa orang-orang percaya dengan cara-cara yang keji dan sukar dipercaya. Ada yang dikuliti hidup-hidup, dibakar, di jadikan mangsa binatang buas, sampai dibiarkan mati perlahan-lahan dengan siksaan-siksaan. Ketika kota Roma terbakar, dan para penduduk kota diberitahu bahwa orang Kristen lah pelakunya, maka dengan kemarahan yang meluap-luap karena kehilangan banyak harta benda dan nyawa keluarganya, mereka pun memburu para pengikut Kristus. Kekacauan besar pun terjadi, orang-orang Kristen berlari keluar dari kota Roma, mencari tempat yang aman dari kejaran penduduk kota yang kalap. Diantara para pelarian itu, Petrus yang sudah sangat tua dan telah berumur 72 tahun, ikut berlari tertatih-tatih meninggalkan kota Roma yang memerah dilalap api. Hatinya penuh ketakutan, batinnya berteriak kuatir, Petrus sangat mengerti bahwa sebagai pemimpin jemaat, dia mungkin saja menjadi buruan utama dari para serdadu romawi. Banyak orang Kristen yang telah tertangkap, dan dia harus terus berlari, jangan sampai ada yang melihat dan mengenalinya diantara kerumunan. Kakinya yang sudah goyah, dan tubuhnya yang sudah renta perlahan-lahan mulai merasakan lelah, jalanya sudah mulai terbungkuk-bungkuk. Lalu samar-samar, dari kejauhan dia melihat bayangan dari seseorang yang berjalan melawan arus kerumunan. Makin lama semakin dekat, dan tampaklah seorang pria setengah baya, memikul kayu besar dipundaknya, berjalan perlahan, terbungkuk-bungkuk, dan dengan langkah setengah menyeret.
“Siapa laki-laki itu? Sedang apa dia? Mengapa dia malah berjalan kearah kota? Apa yang dipikulnya? “ Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Petrus. Lalu Laki-Laki itu pun semakin dekat, tetapi kenapa tidak ada orang yang memperhatikan Nya? Kenapa seakan hanya Petrus yang melihat Dia? Tak lama kemudian, mereka pun berpapasan, dan Laki-Laki itu mengangkat wajahNya, penuh peluh dan kesedihan yang mendalam. San ketika mata mereka bertemu, Mata Orang itu menatap Petrus dengan sangat dalam, menusuk tajam, namun lembut penuh kasih. Petrus ingat mata itu, betapa seringnya dulu ia ditatap seperti itu. Petrus ingat pertama kali tatapan itu diikuti dengan ucapan indah, “ Mulai saat ini, engkau akan dipanggil KEFAS.” Dan saat-saat Guru nya berteriak kepadanya, “Enyahlah Engkau, Iblis!!”. Di kepala Petrus pun terngiang-ngiang kembali, ketika dia menyangkal sang Guru 3 kali, dan setelahnya mata Gurunya menatapnya dengan sangat dalam, ketika kemudian ayam berkokok 3 kali pula. Petrus juga tidak akan melupakan saat-saat Gurunya bertanya juga 3 kali, “Simon anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”, lalu dijawabnya pada kesempatan ketiga dengan menangis, dan setengah berbisik, engkau tahu Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mau mengasihimu..” dan sang Guru menjawab dengan sangat tegas, “Gembalakanlah doma-dombaKu!”
Dan saat ini, mata itu kembali menatapnya, dijalan keluar dari Roma, ketika Petrus yang sangat ketakutan, ingin meninggalkan kota, ingin meninggalkan banyak sekali orang Kristen, domba-domba Kristus, sendiri menghadapi aniaya.. Itu Guru… Itu Yesus…
Petrus pun berbisik, yang ditengah gemuruh teriakan dan langkah kaki orang-orang dikerumunan, mungkin tidak akan dapat didengar oleh siapapun, “Quo Vadis Domine? (Mau kemana, Tuhanku?)”
Dan bisikan yang hamper-hampir tak terdengar itu, dijawab oleh sang Guru, tepat kepada Petrus, “ Aku mau ke Roma, hendak disalibkan untuk yang kedua kali..”

Maka bergetarlah hati Petrus, orang tua itu pun tertunduk dan terjatuh bersujud, dengan airmata yang diikuti oleh tangis yang mengerang. Hatinya tersayat, dia begitu sedih dan kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri, yang setelah puluhan tahun melayani Kristus, namun sekarang berlari ketakutan, meninggalkan domba-domba Tuhannya, yang diamanatkan untuk dia gembalakan. Petrus tersadar, dengan kekuatan baru dia berdiri, melangkah kembali dengan sangat kokoh dan bersemangat, tetapi kali ini mengarah ke kota.. Dia sadar, melayani Kristus harus dengan satu tekad dan keberanian, sadar bahwa Tuhan beserta nya, dan menyelesaikan tugas dan panggilannya, walaupun nyawa taruhannya.

Kita tahu cerita selanjutnya, Petrus ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara. Karena dia pemimpin jemaat, maka Kaisar menunggu waktu yang tepat untuk menghukum mati dirinya, dan menggunakannya untuk menakut-nakuti jemaat Tuhan. Kemudian, pada tahun 67 Masehi, Kaisar Nero memutuskan untuk menghukum mati Petrus dengan menyalibkan dia, sama seperti Tuhannya dulu dihukum mati. Tujuan Nero adalah, kembali membunuh kekristenan diatas kayu salib. Ketika hendak disalibkan, Petrus meminta agar mereka menyalibkannya terbalik, dengan kaki diatas, dan kepala dibawah. Itu karena Petrus merasa bahwa dirinya tidak layak untuk menerima ‘penghormatan’ yang sama seperti Gurunya. Maka sesuai dengan permintaannya, Petrus pun menemui ajalnya (sekaligus menemui Gurunya) dengan disalib secara terbalik.

Bagaimana dengan para jemaat? Bukan nya surut, malah orang-orang Kristen di Roma dan di seluruh dunia, yang mendengar kabar kematian Petrus dan keberaniannya, disulut kembali imannya dan semakin berkobar-kobar. Sama seperti Petrus (sang batu karang), mereka pun semakin berapi-api untuk bersaksi tentang Kristus, dan melayani sang Raja dengan mempersembahkan seluruh hidupnya.

Kisah Petrus ini memberi kita inspirasi, bahwa mengasihi Yesus, artinya adalah bahwa kita siap untuk melayani DIA sehabis-habisnya dengan memberi diri kita untuk memimpin orang lain mengenal dan memuliakan namaNYA!!
SOLI DEO GLORI

Quo Vadis Domine? (Story Behind the quote..)


Ingatkah kita tentang Simon Petrus, murid Yesus yang pernah menyangkal Nya sampai tiga kali ketika Sang Guru diperhadapkan kepada Imam Besar untuk diadili?

Ada satu kisah lain tentang Petrus yang tidak ditulis dalam Alkitab namun tercatat dalam buku sejarah Gereja.

Pada tahun 64 Masehi, Kaisar Nero membakar kota Roma dan menuduh orang Kristen sebagai pelakunya. Kaisar Nero sangat membenci kekristenan, dan kerap menyiksa orang-orang percaya dengan cara-cara yang keji dan sukar dipercaya. Ada yang dikuliti hidup-hidup, dibakar, di jadikan mangsa binatang buas, sampai dibiarkan mati perlahan-lahan dengan siksaan-siksaan. Ketika kota Roma terbakar, dan para penduduk kota diberitahu bahwa orang Kristen lah pelakunya, maka dengan kemarahan yang meluap-luap karena kehilangan banyak harta benda dan nyawa keluarganya, mereka pun memburu para pengikut Kristus. Kekacauan besar pun terjadi, orang-orang Kristen berlari keluar dari kota Roma, mencari tempat yang aman dari kejaran penduduk kota yang kalap. Diantara para pelarian itu, Petrus yang sudah sangat tua dan telah berumur 72 tahun, ikut berlari tertatih-tatih meninggalkan kota Roma yang memerah dilalap api. Hatinya penuh ketakutan, batinnya berteriak kuatir, Petrus sangat mengerti bahwa sebagai pemimpin jemaat, dia mungkin saja menjadi buruan utama dari para serdadu romawi. Banyak orang Kristen yang telah tertangkap, dan dia harus terus berlari, jangan sampai ada yang melihat dan mengenalinya diantara kerumunan. Kakinya yang sudah goyah, dan tubuhnya yang sudah renta perlahan-lahan mulai merasakan lelah, jalanya sudah mulai terbungkuk-bungkuk. Lalu samar-samar, dari kejauhan dia melihat bayangan dari seseorang yang berjalan melawan arus kerumunan. Makin lama semakin dekat, dan tampaklah seorang pria setengah baya, memikul kayu besar dipundaknya, berjalan perlahan, terbungkuk-bungkuk, dan dengan langkah setengah menyeret.
“Siapa laki-laki itu? Sedang apa dia? Mengapa dia malah berjalan kearah kota? Apa yang dipikulnya? “ Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Petrus. Lalu Laki-Laki itu pun semakin dekat, tetapi kenapa tidak ada orang yang memperhatikan Nya? Kenapa seakan hanya Petrus yang melihat Dia? Tak lama kemudian, mereka pun berpapasan, dan Laki-Laki itu mengangkat wajahNya, penuh peluh dan kesedihan yang mendalam. San ketika mata mereka bertemu, Mata Orang itu menatap Petrus dengan sangat dalam, menusuk tajam, namun lembut penuh kasih. Petrus ingat mata itu, betapa seringnya dulu ia ditatap seperti itu. Petrus ingat pertama kali tatapan itu diikuti dengan ucapan indah, “ Mulai saat ini, engkau akan dipanggil KEFAS.” Dan saat-saat Guru nya berteriak kepadanya, “Enyahlah Engkau, Iblis!!”. Di kepala Petrus pun terngiang-ngiang kembali, ketika dia menyangkal sang Guru 3 kali, dan setelahnya mata Gurunya menatapnya dengan sangat dalam, ketika kemudian ayam berkokok 3 kali pula. Petrus juga tidak akan melupakan saat-saat Gurunya bertanya juga 3 kali, “Simon anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”, lalu dijawabnya pada kesempatan ketiga dengan menangis, dan setengah berbisik, engkau tahu Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mau mengasihimu..” dan sang Guru menjawab dengan sangat tegas, “Gembalakanlah doma-dombaKu!”
Dan saat ini, mata itu kembali menatapnya, dijalan keluar dari Roma, ketika Petrus yang sangat ketakutan, ingin meninggalkan kota, ingin meninggalkan banyak sekali orang Kristen, domba-domba Kristus, sendiri menghadapi aniaya.. Itu Guru… Itu Yesus…
Petrus pun berbisik, yang ditengah gemuruh teriakan dan langkah kaki orang-orang dikerumunan, mungkin tidak akan dapat didengar oleh siapapun, “Quo Vadis Domine? (Mau kemana, Tuhanku?)”
Dan bisikan yang hamper-hampir tak terdengar itu, dijawab oleh sang Guru, tepat kepada Petrus, “ Aku mau ke Roma, hendak disalibkan untuk yang kedua kali..”

Maka bergetarlah hati Petrus, orang tua itu pun tertunduk dan terjatuh bersujud, dengan airmata yang diikuti oleh tangis yang mengerang. Hatinya tersayat, dia begitu sedih dan kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri, yang setelah puluhan tahun melayani Kristus, namun sekarang berlari ketakutan, meninggalkan domba-domba Tuhannya, yang diamanatkan untuk dia gembalakan. Petrus tersadar, dengan kekuatan baru dia berdiri, melangkah kembali dengan sangat kokoh dan bersemangat, tetapi kali ini mengarah ke kota.. Dia sadar, melayani Kristus harus dengan satu tekad dan keberanian, sadar bahwa Tuhan beserta nya, dan menyelesaikan tugas dan panggilannya, walaupun nyawa taruhannya.

Kita tahu cerita selanjutnya, Petrus ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara. Karena dia pemimpin jemaat, maka Kaisar menunggu waktu yang tepat untuk menghukum mati dirinya, dan menggunakannya untuk menakut-nakuti jemaat Tuhan. Kemudian, pada tahun 67 Masehi, Kaisar Nero memutuskan untuk menghukum mati Petrus dengan menyalibkan dia, sama seperti Tuhannya dulu dihukum mati. Tujuan Nero adalah, kembali membunuh kekristenan diatas kayu salib. Ketika hendak disalibkan, Petrus meminta agar mereka menyalibkannya terbalik, dengan kaki diatas, dan kepala dibawah. Itu karena Petrus merasa bahwa dirinya tidak layak untuk menerima ‘penghormatan’ yang sama seperti Gurunya. Maka sesuai dengan permintaannya, Petrus pun menemui ajalnya (sekaligus menemui Gurunya) dengan disalib secara terbalik.

Bagaimana dengan para jemaat? Bukan nya surut, malah orang-orang Kristen di Roma dan di seluruh dunia, yang mendengar kabar kematian Petrus dan keberaniannya, disulut kembali imannya dan semakin berkobar-kobar. Sama seperti Petrus (sang batu karang), mereka pun semakin berapi-api untuk bersaksi tentang Kristus, dan melayani sang Raja dengan mempersembahkan seluruh hidupnya.

Kisah Petrus ini memberi kita inspirasi, bahwa mengasihi Yesus, artinya adalah bahwa kita siap untuk melayani DIA sehabis-habisnya dengan memberi diri kita untuk memimpin orang lain mengenal dan memuliakan namaNYA!!
SOLI DEO GLORI

Apa Sumber Inspirasimu


Newton menulis: "We account the Scriptures of God to be the most sublime philosophy. I find more sure marks of authenticity in the Bible than in any profane history whatsoever."

Mungkin kalau seorang Taor yang menyatakan kalimat diatas, tidak akan terlalu berpengaruh. Tetapi jika nama Newton tercatat sebagai ‘pemberi pernyataan’ akan berbeda hasilnya. Ilmuwan paling besar yang hidup di sepanjang sejarah dunia, Michael Hart dalam ‘100 Manusia Paling Berpengaruh Dalam Sejarah’ yang kontroversial itu berani menempatkannya di urutan kedua, di bawah Muhammad dan di atas Yesus Kristus, yang adalah sentral dari seluruh isi Alkitab. Bukti bahwa John Newton memang adalah ‘manusia biasa’ yang paling terkemuka di dunia. Jadi, pendapat dan pernyataannya bukanlah gurauan tukang obat.
Saya pun tergelitik memperhatikan sebagian besar orang Kristen dengan bangga menambahkan Alkitab di profil facebook atau friendster nya dalam daftar buku favorit. Mungkin buku favorit yang jarang disentuh. Pun, kelompok-kelompok kecil di mana-mana tempat persekutuan, menamai kelompok mereka sebagai kelompok PA (Penelaahan Alkitab), tanpa pernah menjadikan Alkitab sebagai objek penelaahan terutama mereka. Tak jarang saya menemukan, banyak mahasiswa kristen yang menganga mulutnya ketika mendengar cerita bahwa usia Daniel ketika dimasukkan ke Gua singa hampir 70 tahun. Atau pengulangan sejarah yang terjadi pada masa tua Samuel, dimana anak-anaknya yang seharusnya menggantikan dia sebagai Hakim di Israel, mengulangi perbuatan jahat Hofni dan Pinehas, anak-anak Eli. Atau, kisah tentang Raja Manasye yang tercatat sebagai raja paling jahat di Yehuda, namun merendahkan diri di hadapan Tuhan di usia di usia tuanya, dan (menurut interpretasi saya) sempat membimbing Yosia cucunya mengenal Tuhan, dan kelak akan menjadi reformator Yehuda. Atau kisah Epafroditus, Apolos (rasul yang jauh lebih pintar dari Paulus), dan kisah-kisah lain.
Di Amerika (mungkin di Indonesia juga), banyak orang yang membaca Purpose Driven Life nya Warren yang terkenal itu, tanpa membaca Alkitab. Di seminar-seminar kristen, banyak dibahas topik-topik fenomenal tanpa melibatkan Alkitab sama sekali. Bahkan suatu kali, saya pernah menghadiri seminar Love, Sex, and Dating di satu PMK, tanpa membuka Alkitab sama sekali. Lalu, para pedagang dan pengejar harta mencoba mengkristiani kan nilai-nilai bisnis, dengan memaksakan ayat-ayat Alkitab berdiri dalam rangkaian pararel dengan prinsip-prinsip bisnis. Ingat pelajaran fisika di SMP? Jika salah satu lampu dalam rangkaian pararel mati, maka lampu-lampu lain masih bisa hidup.
Banyak ahli sejarah yang protes, mengapa Socrates yang hidup sezaman dengan Maleakhi, tidak tercantum di Alkitab. Padahal, Maleakhi yang adalah ‘nabi lokal’ tercatat namanya. Itu menjadi alasan mengapa banyak orang yang berpendapat bahwa Alkitab hanyalah ‘tulisan lokal’ untuk kelompok tertentu. Tidak universal, dan bukan hasil terbaik yang bisa diberikan sejarah bagi perkembangan peradaban dunia. Pemikiran Socrates masih jauh lebih berdampak dan berkualitas dibanding cerita terbaik dari keseluruhan hidup Maleakhi. Lalu studi kritis terhadap Alkitab juga meragukan keberadaan orang pintar seperti Daniel (Beltsazar) pada suatu masa dalam sejarah, berkedudukan tinggi di dinasti-dinasti termasyur, mulai dari Babilon sampai Persia; dari Nebukadnezar sampai Cyrus. Jika Daniel sedemikian pintar dan berhikmat, mengapa namanya hilang dari daftar pemikir-pemikir termasyur sepanjang sejarah? Mengapa pemikiran-pemikirannya terabaikan? Mengapa tidak ada teriakan „EUREKA!!!“ yang tercatat dari mulut para tokoh-tokoh Alkitab?
Jadi jelas, nilai filosofis dari Alkitab, menurut kebanyakan orang tidak sepadan dengan pemikiran-pemikiran dari tokoh non Alkitab. Jika ingin mendengar jawaban-jawaban memabukkan soal keselamatan dan perkara-perkara setelah kematian, silakan baca Alkitab. Tetapi jika kamu sedang diperhadapkan dengan hal-hal nyata, masalah-masalah nyata, dan citarasa nyata, maka Alkitab bukanlah pilihan terbaik. Bagi sebagian orang, sangat picik untuk berharap akan jalan keluar bagi perkara cinta dari Alkitab. Atau yang lebih rumit, mampukah Alkitab berbicara soal sistem politik ideal, yang dapat diimplementasikan di Republik tercinta ini? Apakah jawaban Alkitab tentang perkawinan campur (antar keyakinan) tidak terdengar ortodoks dan menentang norma kasih?
Saya terkejut mendengar tanggapan tak terduga dari seorang mahasiswi menjelaskan pendapatnya soal kelompok PA di kampusnya: „Bang, komunitas jomlo terbesar di kampus ini ada di kelompok-kelompok PA itu.“ Wow, menurutnya Alkitab relevan untuk menjadikan seseorang menjadi lebih sering tersenyum, tapi gagal untuk memberi kiat-kiat efektif mencari pasangan.
Ada pendapat yang menganggap bahwa Alkitab tidak bisa berdiri sendiri. Alkitab harus dilengkapi oleh pemikiran-pemikiran dan kebenaran-kebenaran lain yang berbobot. Alkitab harus bersintesa dengan kebudayaan, pemikiran zaman, dan bahkan keyakinan-keyakinan yang lain. Saya ingat nama seorang pemikir Gereja yaitu Tertulianus (160-222M) berpendapat bahwa mempelajari filsafat yunani (helenisme) dan filsafat non Alkitab lainnya adalah sia-sia dan berbahaya. Walaupun ternyata ada juga pemikir kristen lain yang sezaman dengan Tertulianus, yaitu Yustinus Martir, Klemens dari Alexandria, dan Origenes mempelajari filsafat yunani. Bahkan Gregorius dan Basilius Agung (330-390) mencoba menciptkan sebuah sintesa antara kekristenan (Alkitab) dengan kebudayaan yunani, yang diklaim tidak mengkompromikan prinsip-prinsip Alkitab. Tapi tetap saja ada kelemahan; ada beberapa tulisan bapa gereja abad itu yang kental neoplatonis. Benarlah: Tak ada gading yang tak retak.
Suatu tulisan agung yang penuh pemikiran-pemikiran tajam De Civitate Dea (kota Allah) oleh Agustinus (Bapak Gereja) pun masih dipengaruhi oleh pemikiran Plato, walaupun ia sangat ketat berpegang pada Alkitab.
Lalu sebenarnya, apa maksud tulisan saya ini?
Saya ingin menegur para saudara-saudara seiman yang kurang suka bergelut dengan prinsip-prinsip, pemikiran-pemikiran, dan kisah-kisah Alkitab, untuk menjadikan Alkitab benar-benar menjadi ‘sumber filsafat yang paling mulia’. Malulah jika sebagai aktivis kristen anda lebih banyak berkubang dalam pemikiran-pemikiran orang lain, dibanding Alkitab. Termasuk jika menjadikan pemikiran para tokoh geraja terdahulu sebagai sumber inspirasi utama dalam menjawab segala macam pertanyaan. Gregorius, Tertulianus, Agustinus, Luther, dan Zwingli, Calvin, dan Wesley adalah pemikir dan ‘pencari jawaban’ pada zamannya. Memang banyak pemikiran mereka yang melampaui zamannya, namun tetap saja, kita sebagai anak Allah yang hidup pada zaman ini bertanggung jawab untuk menginterpretasikan dan mengimplementasikan Alkitab secara benar dan kontekstual, untuk zaman ini. Zaman ini adalah zaman dimana kebenaran dan kepalsuan menjadi relatif, zaman dimana terjadi peperangan antara pemikiran yang satu dengan pemikiran yang lain. Ada kelompok yang sangat aktif dan produktif mengeluarkan dan mendekritkan doktrin-doktrin dan pemikiran-pemikirannya.
Terorisme bukanlah kemenangan kaum ekstrimis dalam menanamkan doktrin mereka kedalam diri pelaku teror, namun kegagalan berbagai kalangan untuk secara produktif menghasilkan, menyebarkan, dan mengimplementasikan prinsip agama dan nasionalisme secara sederhana, kontekstual, dan bermutu.
Materialisme, hedonisme, anarkisme, dan isme-isme lain yang semakin marak bukanlah kemenangan kelompok-kelopmok tertentu, namun harus dimaknai sebagai kegagalan orang-orang kristen menghasilkan secara produktif nilai-nilai Alkitab yang kontekstual dan aplikatif dalam menjawab berbagai permasalahan. Orang kristen lebih bersifat reaktif dan solutif; ketimbang antipatif dan produktif.
Mari kita benar-benar menjadikan Alkitab sebagai sumber inspirasi terbesar kita. Belajar secara mendalam, akan apa yang dikatakan Allah bagi kita, dan dunia. Ingat, bapak-bapak gereja seperti Agustinus dan Gregoryus saja, bisa terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran plato dan pemikiran non Alkitab lainnya. Apalagi kita, yang tidak terbiasa bergelut dengan Alkitab, jangan-jangan kita sudah sedemikian dalam ditenggelamkan oleh pengajaran-pengajaran, prinsip-prinsip, dan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Alkitab. Bacalah 2 Timotius 3: 16-17! Kalimat terakhir mengatakan: dengan demikian setiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. Sudah seharusnya setiap keterampilan, pengetahuan, dan inspirasi yang kita dapat bertitik tolak dari pemahaman yang alkitabiah. Jika tidak, tidak ada jaminan bahwa seiap tindakan yang kita lakukan masuk kategori ‚baik‘ alias BENAR!!
Mari membangun gerakan dimana-mana, dimulai dari pemahaman Alkitab yang benar!!

Sebuah Kalimat di Catatan Lama


Aku sangat mengagumi bapakku, seorang pria sederhana dari HAUNATAS (Jangan coba cari di peta, takkan ketemu) yang begitu menginspirasi. Aku yakin, kini di Firdaus pun dia sedang duduk dan berdiskusi dengan Luther atau Apolos. Aku yakin, kedua tokoh itu sedang dibuat terkagum-kagum akan pendapat-pendapat Almarhum yang sempat menjadi Sintua selama satu dasa warsa di HKBP Zetun. Mereka akan geleng-geleng kepala, mengapa orang pintar seperti pak Siahaan ini tidak menjadi satu di antara 10 tokoh gereja.

Keinginan hampir semua orang adalah menjadi terkenal, mengglobal, dan disanjung tinggi. Tak peduli bagaimanapun caranya. Maka, berbagai profesi digeluti demi untuk menggapai impian, menjadi yang terdepan.

Surat terakhir yang bapak tuliskan untukku adalah surat yang dia kirimkan melalui mama, di hari kelulusanku di UMPTN. Aku simpan surat itu, untuk warisan bagi anakku kelak. Salah satu kalimat dari surat seorang bapak kepada putra sulungnya yang sedang diliputi oleh rasa bangga yang amat sangat adalah:

"Ananda Taor, saya mengerti kegembiraanmu, dan saya bangga akan pencapaianmu, tetapi si Taor belumlah apa-apa, bukanlah siapa-siapa, dan tidak akan pernah menjadi seorang yang patut berbangga, apa pun pencapaiannya, karena pencapaian bukanlah tujuan kita, kita ini hanyalah hamba, menjadi berguna saja, cukuplah!"

Heran, seorang seperti pak Siahaan bisa begitu idealis sekaligus puitis. Jangan tanyakan, mengapa beliau memakai kata ganti Ananda, saya, dan si TAor. Karena itu memang gayanya, the very best of him! Yang paling menggetarkan saya adalah nilai hidupnya, "MENJADI BERGUNA".

sAYA teringat kisah tentang si Apolos dari Alexandria. Saya begitu terkesan dengan hidupnya, seorang genius dan orator ulung di Aeropagus. Dalam Kisah 18:24;27b sangat jelas tergambarkan betapa kerendahan hatinya telah membuatnya menjatuhkan pilihan, daripada menjadi seorang ahli yang dikenal, lebih baik 'menjadi berguna' bagi sekelompok kecil orang percaya. Saya yakin, pilihan hidup yang dia buat, telah menginspirasi hidup banyak orang, dan masa hidupnya telah sedemikian efektif dan menghasilkan banyak pemimpin2 baru.

Saya beruntung, warisan berharga ini ditulis oleh bapak saya, pada putra sulungnya 9 tahun yang silam; dan pilihan saya persis seperti amanatnya: MENJADI BERGUNA!!

Runtuhnya Selubung Sandiwara

Sunday, September 27, 2009 at 8:48pm

Katanya, dunia ini panggung sandiwara, dan kita inilah pemain-pemainnya. Betul, kita memang sedang bermain sandiwara. Sandiwara yang lebih lucu dari opera van java, lebih menyedihkan ketimbang kisah kisah Siti Nurbaya, lebih menyebalkan dari si JengKelin, dan lebih ironis dibanding sinetron Cinta Fitri.

Kita tidak begitu menyukai kisah sederhana, yang lurus dan tulus seperti mini seri JOJO atau Satu Kakak Tujuh Ponakan. Lebih berbelit-belit seperti Tersanjung, lebih tinggi ratingnya. Orang-orang mengutuk, memaki, tapi anehnya dengan muka serius masih setia mematung di TV, untuk mengetahui bagaimana episode selanjutnya memimpin dia marah-marah dan nonjok-nonjok layar kaca. Aneh..

Apa yang ingin saya bahas?

Perilaku bersandiwara itu, turun dan mewabah di hidup sehari-hari. Keseharian kita bahkan lebih seru dari sinetron. Saya tertawa terbahak-bahak melihat aksi MAnohara di sinetron yang judulnya sami mawon. Mimik wajah, ekspresi menangis, dan gerak-gerik bibir-mata nya; benar-benar sama dengan ketika dia wara-wiri di TV, seakan mengadukan nasibnya kepada seluruh masyarakat. Di sinetron, jelas sedang bersandiwara, menangis dengan konflik yang tidak riil, hanya lakon semata. Bagaimana dengan wawancara di tv? Mana yang sandiwara, mana yang nyata, tidak ada bedanya. Dibanding ketika melihat wawancara dan film yang bintangi Denzel Washington, atau Dedy Mizwar, misalnya.

Seperti yang saya katakan di atas, perilaku bersandiwara itu,sudah turun dan mewabah di hidup sehari-hari. Kita temukan banyak sekali kisah sandiwara setiap hari. Tentang 2 org sahabat yang sepertinya baik2 saja, namun saling memaki di belakang masing-masing. Tentang seorang ibu rumah tangga yang innocent, namun kedapatan selingkuh dengan tetangganya yang masih SMP. Atau tentang seorang rohaniawan yang berbicara tentang integritas, namun menabrak lampu merah.

Sebenarnya, apa sih yang kita cari dari hidup? Kesan baik dari orang tentang diri kita? Saya temukan, lebih banyak manusia yang senang menerima pujian selangit yang penuh kebohongan, daripada sedikit kritik yang jujur. Demi pujian selangit yang berpotensi mematikan itu, banyak manusia yang berlagak dewasa, sopan, baik, pintar-tau segalanya-, pokoknya segala yang baik-baik. Topengnya ada belasan, tergantung occasion. Tak ada pergumulan untuk berjuang menjad ilebih baik, eh begitu masuk dalam komunitas rohani, seorang bejat tiba-tiba menjadi malaikat. Saya jadi malu sendiri, sudah bertahun-tahun melayani, masih bergumul untuk mengmas kritik menjadi lebih baik. Masih bergumul untuk mengubah kemalasan, masih bergumul untuk memperbaiki 'face control' waktu lagi ga suka pada seseorang, ah.. banyak pergumulan-pergumulan yang lain.

Maksud saya, betapa indahnya jika selubung sandiwara kita dibuka semua. Kelihatan jelek-jeleknya, dan ga lagi mengejar kesan baik dari semua orang terhadap diri. Saya jadi teringat, di persekutuan para hamba Tuhan beberapa hari yang lalu, saya menggambarkan bagaimana kekeras kepala-an saya dibetulkan oleh 'ketegasan' pimpinan saya dengan kalimat: "Ketika si keras kepala Taor berbenturan dengan sang keras kepala Nus, barulah.." semua orang yang hadir terdiam. Mungkin mereka setengah tak percaya, betapa kurang ajarnya anak muda satu ini, mengatai pimpinannya dengan sebutan 'keras kepala'. Tetapi saya mau jujur. Saya tidak mau berbelit-belit untuk sekedar mencari kata-kata yang lebih halus, dan memberikan kesan baik, yang akhirnya mengurangi esensi dari perkataan saya. Saya sungguh2 mau bilang, bahwa menurut saya, pimpinan saya sama keras kepalanya dengan saya, dan ternyata keras kepala lebih berguna dan mengubah saya.

Bukan berarti saya menganjurkan kita berbicara kasar. Namun bicaralah seadanya, seperti yang semestinya, setidaknya tepat seperti apa yang ada di dalam hati anda. AGAr, jika seandainya pun salah, bisa kelihatan, dan lantas cepat diperbaiki. Daripada disimpan-simpan, demi sebuah kesan baik yang basi...

SALIB RASA JERUK


Dulu, salah satu ritual paling tidak mengenakkan sebelum berangkat ke sekolah adalah meneguk 2 sendok makan 'scott emulsion'. Tapi, di keluarga Siahaan itu adalah suatu keharusan, tak peduli betapa memuakkannya rasa minyak ikat kod itu di dalam mulut. Mama dengan rajin dan teliti memerikasa satu persatu bau mulut kami. Tak ada yang bisa lolos dari penderitaan rutin itu. Meski mama selalu memulai ritual itu dengan celotehan betapa berkhasiatnya minyak ikan Kod dalam membantu pertumbuhan kami, tetap saja, 'OGAH!!'. Saya masih ingat dengan jelas, betapa usaha-usaha saya untuk melewatkan ritual itu kerap berhasil.Entah dengan mengoleskan sedikit 'cairan busuk' itu ke bibir untuk lolos dari pos pemeriksaan, atau dengan minum susu. Beberapa aksi saya tertangkap basah oleh adik bungsu saya, dan si 'kuncung' itu berusaha menakut-nakuti saya dengan, "AWAS BANG! Nanti abang pendek mirip si BAgong." Ingin rasanya menjewer telinganya 360 derajat, apalagi kelihatannya ancaman anak kecil itu setengah terjadi. Tapi apa iya, badan saya pendek begini karena dulu bandel, tidak meneguk minyak ikan busuk itu?

Pengalaman dengan minyak ikan berkhasiat tapi rasanya 'astagfirullah', membuat saya menjadi teramat yakin peribahasa lama " Obat mujarab, pahit rasanya". Benar juga, duluada semacam pengertian dikeluarga saya, bahwa segala yang pahit pasti ada khasiatnya. Daun pepaya, mengkudu, sampai pucuk daun jambu. Tapi saya tidak sedang mendalami tentang apakah semua obat harus pahit. Dulu, ketika bodrexin berjaya, bahkn anak-anak yang tidak demam pun mengemutnya seperti permen. Rasanya yang enak membuat kesan bahwa itu 'obat' menjadi hilang, dan anak-anak suka. Kemudian mulai muncul produk-produk baru yang mengakomodasi kesukaan anak-anak itu. Ada pasta gigi rasa jeruk, strawberry, ada berbagai jenis obat berbentuk 'syrup' dengan rasa yang bermacam-masam. bahkan ada Scott Emulsion rasa jeruk (kenapa tidak dari dulu??)

Mengapa saya membahas ini?

Singkat saja. Manusia jaman sekarang tumbuh dengan slogan "kalau bisa enak, kenapa harus sakit?". Semua serba canggih, tekniologi mengantarkan kita semua ke suatu kondisi dimana setiap orang hanya bersiap untuk satu situasi: "Bahagia-enak-gampang". Pada jaman ini tidak ada lagi yang au pusing-pusing memikirkan tentang 'penderitaan'. 'Memikul salib' sudah berubah makna dan menjadi rancu dengan 'sukacita melayani'. Setiap orang akan engan senang hati memakai kalung salib, tanpa memahami maknanya, persis seperti seorang anak yang mengunyah bodrexin walaupun tidak demam. Gereja-gereja pun sudah mulai menawarkan 'berbagai macam berkat' ganti penderitaan, yang menjadi panggilan sejati kekristenan. SAya benar-benar pusing dengan kenyataan sekarang. Semua orang ingin 'penderitaan yang enak'; 'pergumulan yang menyenangkan'; dan 'ajaran-ajaran yang meninabobokan'.

Ah, mungkin ini gejala ditemukannya obat baru dalam kekristenan: SALIB RASA JERUK!
Mau coba?

Tangisan Putera Nusantara


Ada apa dengan Indonesia? Ketika kubaca buku ’30 Tahun Indonesia Merdeka’, tidak bisa tidak, aku bergidik gemetar. Indonesiaku direbut oleh pejuang-pejuang berhati baja, Indonesiaku dipenuhi pecinta-pecinta tanah air yang tulus, rela mati untuk bangsanya. Pemimpin-pemimpin yang optimis akan masa kebangkitan nusantara.

Banyak kisah yang mencolok, yang mengharu biru akan patriotisme anak-anak bangsa, yang bangga mencium Sang Saka Merah Putih, dan meneriakkan ‘Indonesia merdeka!’. Negara ini berdiri bukan dengan mimpi semata-mata. Negara ini menegakkan citra diri, bukan di atas tangan peminta-minta. Negara ini ‘pernah’ memiliki seribu anak bangsa, sejuta putera Nusantara, yang mengorbankan nyawa, menepiskan cita-cita, dan membulatkan asa demi satu pekikan ‘Merdeka’! Negara ini tidak kekurangan pejuang, dalam segala bidang, yang mematrikan namanya di puncak-puncak tertinggi, mengisi kemerdekaan dengan prestasi, demi berkumandangnya Indonesia Raya di mana-mana. Negara ini bangga memiliki pemimpin-pemimpin yang membayar pembangunan dengan keringatnya, menebus kepercayaan rakyat dengan darahnya. Pemimpin-pemimpin yang tertawa dan menangis bersama-sama bangsanya.

Tetapi itu tinggal kenangan saja.. Setiap hari, kini yang kita lihat hanya rebutan kekuasaan elit-elit berdasi dan bermobil mewah. Jargon-jargon Merdeka masih diteriakkan, ‘rumah rakyat’ masih didoktrinkan, dan semboyan padamu negeri masih dikumandangkan; sambil tersenyum sinis, sambil saling memaki, sambil sibuk memantau bisnis pribadi, sambil menghitung-hitung langkah untuk berkelit dan berdalih, sambil memamah hak-hak rakyat yang menjalani langkah-langkah hidupnya dengan tertatih-tatih.

Aku tersentak melihat preman yang bertarung memenangkan PILKADA. Menangis melihat langkah-langkah mereka yang tiba-tiba menjadi religius, mengunjungi masjid demi masjid; gereja demi gereja; vihara demi vihara. Menawarkan kemudahan, menawarkan rencana-rencana kolusi, menawarkan bagi-bagi rejeki, menawarkan keamanan menyembah ALLAH tanpa celurit di leher. Dan anehnya, mereka mengangguk-angguk. Mereka, jamaah yang tertipu, mengangguk-angguk. Tak sadar bahwa dirinya telah dijadikan dagelan politik. Memilukan.

Kita seolah-olah hidup di pasar ikan. Tidak ada yang mencium bau busuk, semua menghirupnya seolah wewangian surga. Terbiasa di tengah-tengah kebusukan, sehingga tidak menyadari bau yang menyengat hidung. Terbiasa mendengar bencana demi bencana; terbiasa dengan perkara korupsi, terbiasa dibohongi abdi negeri; terbiasa dengan seluruh ketidak-adilan; terbiasa melihat nyawa manusia melayang begitu saja, tanpa makna tanpa arti. Kita tidak menyadari, bahwa bau itu telah sedemikian busuk; kita tidak menyadari bahwa Tuhan sedang berteriak-teriak menyerukan pertobatan; kita tertidur, menganggap tangisanNYA sebagai musik yang meninabobokan. Aceh, Nias, Jogja, Nabire, Alor, Ambon, Pangandaran, Tasikmalaya, dan terakhir Padang, semuanya mungkin adalah teguranNYA, bagi bangsa yang dikasihiNYA, bagi NINIVEH di Samudera Hindia. Mari kembali kepada fitrah kita: sebagai pelayanNYA!

PS: Aku tahu, masih banyak patriot-patriot bangsa di segala suku bangsa, di segala bidang profesi, yang berjuang sendiri-sendiri, hampir-hampir ditenggelamkan oleh keputusasaan.. Mari, tetap bersemangat! Kita tidak sendiri, masih ada ribuan orang yang Tuhan tinggalkan di seluruh negeri, yang hatinya tidak menyembah ‘baal’, yang tidak condong pada kekuasaan, yang berjuang untuk kebangkitan pertiwi.. Mari berjuang bersama-sama, ini tanah air kita, tanah tumpah darah, Nusantara tercinta!

Stigma


Catatan ini ku tulis karena sebuah kegelisahan. Rasa iba begitu saja menguasai hatiku, saat seseorang bercerita bahwa dia begitu susah untuk bangun dari kebersalahannya. Sebab-musababnya cuma satu: TER- STIGMA.

Karena beberapa kasus, si C ini sudah di cap sebagai pembohong di kampusnya. Dalam suatu kesempatan, terbukti sudah bahwa selama ini dia telah membohongi puluhan bahkan ratusan orang dalam kurun waktu yang cukup lama. Dan kekecewaan teman-temannya tidak terbendung lagi, semua tertumpah. Dalam malu yang teramat sangat, dia menangisi kebodohannya, berjanji untuk berubah. Tetapi ternyata sangat sulit, tak ada lagi yang mempercayai setiap huruf dari kata-katanya. Setiap orang langsung mencibirnya, seolah-olah orang itu tidak pernah berbohong seumur hidupnya..

Memang tragis, kebanyakan orang bisa saja langsung mengatakan: "Wajar!! Dia sedang menuai apa yang dulu dia tabur. Biar dia membayar satu persatu dosanya."

Stigma memang kejam. Jika konsep 'menghakimi' sering kali masih diperdebatkan batasan-batasannya, bagi saya 'menstigma' adalah contoh menghakimi. Memberi vonis kepada seseorang bahwa dia tidak akan pernah bisa berubah, adalah penghakiman yang sangat keji. Memberi stigma pada seseorang, itu sama dengan memberi tanda pada dahi KAIN. Orang yang demikian, menganggap dirinya adalah ALLAH.

Menurutku, setiap orang bisa salah. Namun setiap orang juga bisa memperbaiki kesalahannya. Dia bisa berubah. Memberi stigma hanya akan menghalangi proses itu. Percayalah, terstigma itu sangat menyakitkan. Aku pernah mengalaminya.

Terkadang dengan mudahnya kita memberi label kepada seseorang, tanpa pernah menyadari bahwa segudang kelemahan juga melekat pada diri kita. Saya orang yang sering mengkritik setiap kesalahan yang saya temui. Terkadang keras, tanpa saya sadari telah menyakiti hati seseorang. Saya sadari itu sebagai sebuah kelemahan, ada yang harus diubah. Namun menstigma, itu bukan kritikan. Stigma adalah pembunuhan karakter, yang menghancurkan kesempatan bagi seseorang untuk memperbaiki diri, dan menyangkal kemampuan supernatural TUHAN untuk mengubah hati anak NYA..

Ku katakan kepada teman ku, si C, "Penstigma mu telah membunuhmu, dan hutang di balas dengan darah. Tetapi bukan olehmu, biarlah Tuhan yang membuat perhitungan dengan mereka. Kau telah membayar kesalahanmu, bahkan DIA telah melunasi hutang-hutangmu dengan darah NYA. Masakan kamu berhenti meyakini, DIA berkuasa mengubah hidupmu?? Life continues; prove that you are a new creation!"

SELAMAT JALAN, RABBI!!


Tidak ada tokoh bangsa ini sejak reformasi yang saya hargai sebesar penghargaan saya kepada Gus Dur. Bukan karena sifat bangsa kita yang mengeluarkan sekeranjang pujian kepada seseorang yang baru meninggal, namun memang bagi saya, Gus Dur adalah BApak Bangsa; bukan sekedar BApak Pluralisme atau Bapak Multikulturalisme. Menitik air mata saya mengenang segala kekaguman saya akan Gus Dur, termasuk lelucon-lelucon dan responnya untuk setiap pertanyaan yang membuat saya geleng-geleng kepala dan tertawa terbahak-bahak. Tidak biasa, tidak juga 'jaga image', begitu jujur, dan sederhana. BAgi Gus Dur, Politik, kekuasaan, dan agama bukanlah hal yang teramat rumit, dengan bahasa dan istilah barat, dan penjelasan yang lebih membingungkan dibanding pertanyaan awalnya. Mendengar Gus Dur tertawa, juga adalah kesempatan langka. Perkataannya yang kita respon dengan terbahak-bahak, dilontarkannya dengan serius. JArgon "gitu aja kog repot" adalah kata hati, bukan plesetan atau untuk lucu-lucuan. Gus Dur agaknya telah menjadi jawaban yang pas atas 'kebodohan dan kesederhanaan' bangsanya. Pemimpin yang bijak memang datang bersama jawaban yang sesederhana dan se aplikatif mungkin. Bukan menjadi satu-satunya orang yang (sok) pintar diantara sekian orang yang terbelalak dan mengangguk-angguk. Bertahun-tahun saya pelajari nilai sakral ini dari seorang Gus Dur. Pleidoi Gus Dur atas segala kontroversi dan pertanyaan atas keberadaannya adalah ketulusan, kejujuran, dan kesederhanaan yang tepancar. Sempat saya tidak yakin dan marah-marah ketika melihat Gus Dur muncul dengan celana pendek di teras istana, pasca impeachment MPR. Belakangan saya baru tahu, itu inisiatif Sang Dur, bukan akal-akalan siapapun untuk menjatuhkan citranya.

Saya pengamat Gus Dur sejak dia hampir naik ke atas meja pada hari pelantikannya menjadi Presiden. Sejak itu, politik bagi saya menjadi lebih bergairah, dan menjadi salah satu motivasi saya memilih politik sebagai ladang saya setelah menyelesaikan SMU. Bagi saya sejak awal, adalah lelucon terbaik Indonesia menjadikan Gus Dur Preseiden. Tetapi, itulah Gus Dur; lelucon itu ditanggapi dan dijalankan serius. Kelemahan dan kondisi-kondisi tidak menguntungkan yang menjadikannya bahan tertawaan diubahnya menjadi kekuatan. Dan, orang-orang yang mengangkatnya melakukan kesalahan yang lebih besar dari tindakan awal mereka: menurunkan Gus Dur dengan kasus yang sampai kini tidak selesai dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Begitulah Gus Dur, tidak pernah berhenti memilih jalan yang berbeda dari kebanyakan orang: Menjadi diri sendiri. Banyak orang mengingkari dirinya dan membangun citra yang baik demi untuk mendapat pengakuan orang. Gus Dur tidak. Dia berada di berbagai tempat sebagai Gus Dur. Dia berbicara dan bertindak sebagai dirinya sendiri. Heran kepada fakta bahwa penganiayaan terhadap penganut agama minoritas justru meningkat tatkala pribadi pluralis sepertinya memimpin negeri ini. Menjadi jawaban bagi saya, bahwa seorang Gus Dur sekalipun tidak cukup mengubah negeri ini.

Judul catatan ini sengaja saya titipkan, mengingatkan saya akan keterbukaan hidup seorang Gus Dur kepada perbedaan. Bagi Gus Dur, siapapun adalah kawan, dan siapapun bisa menjadi lawan. Mengingat Yahudi dan ke-yahudi-an adalah haram bagi sekelompok orang di negeri ini, saya geleng-geleng kepala dan merinding mendengar seorang wali negeri menyuarakan pentingnya membuka hubungan diplomasi dengan ISrael. Bagi saya, itu puncak ke-agung-an Gus Dur. Baginya, bahkan seorang Yahudi pun, layak diberi kesempatan. Dan tentu, beliau takkan marah jika saya panggil, RAbbi Dur!

Selamat jalan, Rabbi! Tak perlu ada lagi yang sepertimu, cukup satu Dur yang pernah dimiliki bangsa ini. Satu Dur saja, sudah membuat kami kelimpungan, apalagi dua, tiga; seribu, sejuta, Jangan!! Doaku hanya: semoga Indonesia melahirkan Gus yang lain, Bang yang lain, Mas yang lain, Aa yang lain, Lae yang lain, Koko yang lain; dan harapanku, Bang Taor bisa menjadi alternatif yang berbeda; Lae Bachrul juga bisa; Ko Andreas siapa tahu, Tulang Paul pun punya peluang..
Siapa tahu, hiruk pikuk di Jombang, tahlilan di Tebu Ireng, suatu hari nanti bisa berpindah ke Siantar, dan kidung pujian-pujian bagi NYA dari gereja HKBP Jetun diperdengarkan oleh seluruh stasiun televisi..

Susno Duadji; Riwayatmu Kini..

Friday, January 8, 2010 at 11:10am

From Loser to Hero..
Mungkin begitu sebagian besar orang menyebut Sang Jenderal. Pencetus 'Buaya vs Cicak' ini kini dianggap penghianat (kira-kira begitu kesan yang saya tangkap dari pemberitaan media) gara-gara kesaksiannya di Pengadilan, yang dianggap meringankan Antasari Azhar, dan menurut pengacara AA, semakin mempertegas dugaan rekayasa kasus oleh POLRI terhadap AA. Kesaksian ini melengkapi kesaksian Williardi Wizard yang mengatakan bahwa kasus AA adalah rekayasa POLRI. Nama demi nama bermunculan, dan Susno Duadji adalah aktor terakhir yang melejit di panggung (Sandiwara) hukum Indonesia.

Dari wawancara yang saya tonton di salah satu stasiun tv swasta nasional, tersirat suatu kekecewaan dari Pak Susno terhadap perlakuan Mabes Polri kepada dirinya. Dari pemberhentiannya sebagai Ka Bareskrim POLRI yang diberitakan di media (padahal menurut Pak Susno, mutasi ditubuh POLRI tidak pernah dipublikasikan), sampai rencana penarikan fasilitas yang selama ini diberikan kepada Jendral Bintang Tiga itu telah mengusik hatinya. Susno mungkin merasa terpinggirkan, terbuang, dan disia-siakan. Bahkan (yang paling menarik bagi saya), ketika dalam wawancara Pak Susno ditanyai seputar alasan POLRI melakukan hal-hal itu, beliau menjawab, "Saya tidak tahu, tidak pernah mau bertanya... Saya ini Jendral, saya hapal betul kode etik POLRI, dan saya yakin saya tidak pernah melanggar kode itu itu... Mungkin, saya dianggap gagal 'menjatuhkan' petinggi KPK, saya tidak tahu.." (Tiap-tiap kalimat adalah potongan-potongan pernyataan dari Pak Susno).

Wow, seorang Susno berbicara bahwa ada kemungkinan masalah kriminalisasi KPK yang gagal itu menjadi alasan dari peminggirrannya dari tubuh POLRI. Arti peryataan ini bisa banyak. Apalagi sampai kini, perkara dugaan kriminalisasi KPK belum selesai, walaupun Chandra dan Bibit sudah kembali berkantor di KPK. Saya juga heran, mengapa keputusan membebaskan 2 petinggi KPK itu tidak sampai pada keputusan yang juga penting bagi seluruh masyarakat: BETUL ADA KRIMINALISASI KPK.

Apakah memang itu sudah jelas, namun mengingat kepentingan yang lebih besar (eksistensi POLRI dan KPK itu sendiri) menjadi disamarkan/dikaburkan/didiamkan? Rakyat seperti saya (mau bilang kita, friends?) menjadi bingung tujuh keliling. Belum selesai Antasari, muncul Bibit-Chandra; belum selesai itu sudah muncul lagi Perkara Bank Century; terus George Tjondro bikin sensasi dengan buku yang tidak sepadan dengan gelar PhD nya, ditambah lagi Bang Pohan yang ikut-ikutan menambah sensasi, eh ada lagi mantan Jurnalis yang mengaku ingin cari uang dengan menanggapi sensasi bikinan George; diakhiri pula oleh kelakuan berbalas pantun seorang profesor dan pemain sinetron di Gedung DPR. Bingung, semakin bingung.

Kembali ke Pak Susno, 'musuh besar' KPK itu kemarin bersalaman dengan Antasari Azhar Ketua non aktif KPK. Makin jelaslah, tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Saya tidak berlama-lama mengomentari isi kesaksian pak Susno, yang kemarin dianggap sudah menjauh dari hanggar POLRI, dan kini berlabuh di pelabuhan hati sekelompok masyarakat pendukung KPK. Yang ingin saya katakan, betapa perilaku para petinggi itu adalah cerminan pribadi masyarakat kita. Kebohongan, muka dua, saling memaki, menggunakan kesempatan apapun untuk menjatuhkan lawan politi, yang entah esok atau tahun depan menjadi sekongkol utama nya untuk melirik pelabuhan lain yang lebih ramai dan menjanjikan.

Ah, saya kembali lagi ke GUS DUR, sambil meneriakkan : 'Berpolitik (politik kan ada disetiap bidang kehidupan) jangan untuk kepentingan diri atau kelompok."
Ada lagi yang lebih indah, kata BApak saya, " Suatu hari nanti kita akan dipaksa membuka topeng, suka-atau tidak suka, dan saat itu saya akan tertawa, wajah saya yang jelek ini ternyata lebih ganteng dari orang lain."
Saya menangis, "Bapak, ajarkan saya untuk membuang jauh-jauh sandiwara dan kepura-puraan! Ajarkan saya untuk tulus belajar hanya untuk berguna bagi orang lain!"
"Insya Allah, kata bapak saya dari sana.."

Jika Semua Tidak Berjalan Semestinya..


Banyak sekali kisah ku yang begitu jauh dari angan, impian, harapan, dan perencanaan. Bahkan ada beberapa yang melenceng dari perkiraan, padahal segala daya upaya telah kulakukan untuk mengimplementasikan perencanaan. Saat-saat seperti itu, memang paling enak dihabiskan dengan memelas diri, mencari pembenaran, atau bahkan menyalahkan orang lain.
Pernah tahun lalu, aku menghabiskan waktuku untuk suatu pekerjaan. Uang, tenaga, dan pikiran kucurahkan, ditambah lagi senyuman. Karena hatiku pun kuletakkan di pekerjaan itu, maka lelah yang timbul seperti tidak terasa. Padahal, saat itu tidak ada orang yang mendukung apa yang ku rencanakan dan lakukan.

Yang terjadi kemudian memang begitu menyesakkan hati, singkat kata pekerjaanku gagal. Bukan saja gagal, namun juga memberi ekses yang tidak disangka-sangka, hubungan ku dengan rekan se tim menjadi rusak, karena mereka berdiri di tempat lain sebagai pengamat dan penilai. Maka lengkap lah semua, waktu terasa sia-sia, lelah datang, uang habis, sindiran terdengar di sana-sini, dan teguran keras dari pimpinan. Maka ego ku pun bereaksi, aku bangkit menjawab satu persatu 'masalah' yang muncul di depan muka ku. Aku mulai mencari-cari pembenaran, bahwa rencana yang ku lakukan sudah ku pikirkan matang-matang sejak awal; bahkan beralih menyalahkan tim yang tidak mendukung, pimpinan yang hanya menuntut, rekan-rekan yang bodoh dan keras kepala, sampai kepada Tuhan yang lebih membela orang malas yang bahkan tidak melakukan apa-apa. Bisa dibayangkan, aku mengharapkan pembelaan, maka satu persatu ku seret orang-orang ke dalam masalah ku. Ku telepon si Anu, ku temui si Ani, nginap di rumah si Ucok, seharian di rumah si Butet. Pokok diskusinya cuma satu: AKU PASTI BERHASIL SEANDAINYA DIA, MEREKA,..

Aku tertarik menulis catatan ini untuk berbagi tentang sikap hati. Aku tahu sejak awal bahwa ini mimpiku, dan tidak semua orang setuju kepada mimpiku, karena ini mimpiku, bukan mimpi mereka. Sejak awal aku tahu, aku hanya sendiri, kemampuan ku terbatas. Tapi aku tetap mengerjakannya. Aneh jika akhirnya aku menyalahkan orang lain ketika segala sesuatunya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Seandainya aku menghabiskan waktu untuk berdiam diri dan mengevaluasi perencanaan ku, pasti lebih bermakna. Karena semua orang pernah gagal, tidak semua orang mendapati mimpinya dalam genggaman nya. Sikap hati yang ku ambil ketika seluruh perencanaan matang dan pekerjaan habis-habisan yang ku lakukan menemukan kegagalan, menentukan kelanjutan perjalananku. Aku harus yakin, perjalananku belum berakhir, aku bisa beristirahat dahulu, menghela napas, dan mendengarkan dengan saksama cibiran orang lain sebagai evaluasi dan teguran pimpinan sebagai tuntunan. Nanti aku akan kembali, dengan tenaga yang sudah pulih, pikiran yang lebih sehat, dan perencanaan yang semakin sempurna, maka pekerjaanku akan lebih baik dari sebelumnya.

Aku berbagi, karena aku tahu ketika 'semua hal yang tidak berjalan sebagaimana mestinya' direspon dengan salah, hanya akan mendatangkan kekecewaan berlipat.
"TERLALU BANYAK ORANG YANG MEMILIKI SEGUDANG POTENSI HARUS MUNDUR DAN LAYU HANYA KARENA SEPULUH KEGAGALAN PERTAMA, TANPA TAHU BAHWA KEGAGALAN DEMI KEGAGALAN ITU JUSTRU AKAN MENJADI KUNCI UNTUK MENCAPAI SERATUS KEMENANGAN BERIKUTNYA"

--Tagesi

Mengambil Hikmah dari Sebuah Kebodohan


Semua orang pernah bertindak bodoh, setidaknya itu asumsi ku. Dan biasanya, sebuah kebodohan memberi dampak lebih besar dan panjang dari kuantitas dan kualitas waktu yang dihabiskan untuk menghasilkannya. Karena berdasarkan pengalaman ku, kualitas kebodohan tidak ditentukan oleh kuantitas waktu yang kita habiskan untuk memikirkannya. Bahkan semakin singkat (alias dadakan) waktunya, semakin berkualitas kebodohannya. Tak ada kebohan yang dipikirkan dan direncanakan matang-matang, kan?

Itulah yang terjadi padaku senin malam kemarin. Sebuah kebodohan terkonsep begitu saja dibenakku, dan biasanya (berbeda dengan misi mulia, yang sering diundur-undur pelaksanaan nya) begitu rencana kebodohan tercipta, maka tangan, mulut, dan kaki akan terasa gagal untuk mengejawantahkannya kedalam wujud tindakan nyata. He-he. Dan, rekasinya pun cepat sekali. Heran, bahkan tanpa rencana yang matang, tanpa tahapan-tahapan yang jelas, dan kemampuan yang memadai, sukses juga kebodohanku, mempermalukan diri, menyakiti hati orang lain, dan menutup kesempatan untuk meraih mimpi yang sudah hampir digenggaman. Tak pernah konsep ku yang paling matang sekalipun bisa sesukses ini.

Tadi aku sudah mengetik kebodohanku, sampai akhirnya aku putuskan untuk men 'delete' lagi. Namanya saja kebodohan, pasti menular. Aku takut, menulisnya disini malah menjadi pancingan untuk munculnya kebodohan yang lainlagi, walaupun dari orang yang berbeda. Cukuplah aku mengakui dengan jujur, aku sudah melakukan kebodohan berkualitas, yang hebatnya cuma menghabiskan waktu tidak sampai semenit waktu mengkonsepnya. Ada orang yang dipermalukan (diriku sendiri), yang kemudian menderita untuk sekian jam lamanya. Lebih memalukan dibanding Jatuh di Got Kampus, ketika mau pergi kuliah (yang juga pernah kualami dulu di JAtinangor). Ditonton orang-orang, yang senyum-senyum karena tidak tega melantunkan tertawa yang meledak-ledak; dibicarakan hampir sebulan dengan kisah-kisah yang itu-itu saja oleh teman satu kost, teman kuliah, dan loper koran yang setiap hari selalu menatap dengan mimik yang seolah-olah hendak mengatakan, "Ini kan orang konyol yang jatuh ke parit itu? Ya ampun, masih hidup ternyata.."

Apa hikmahnya? Setelah jatuh dari Parit, masukkan kepalamu ke tas yang kau sandang? Atau pindah kampus?
Bukan! Apalagi, jatuh di parit kampus (betapapun memalukannya) bukanlah sebuah kebodohan. Itu sebuah tragedi, yang tidak bisa dihindari (padahal, aku jalan hati-hati hari itu, karena belum terlambat. Hari-hari sebelumnya aku buru-buru karena terlambat, tidak pernah jatuh). Kebodohan yang aku maksud beda. Oya, aku teringat sesuatu contoh (tetap untu menghindar dari bercerita tentang kebodohanku kemarin):
Sewaktu SMU, aku pernah jatuh cinta pada seorang gadis cantik. Setelah merasa melakukan pendekatan, maka kuberanikan menyatakan isi hatiku. Aku datang kerumahnya, ngobrol sejenak, dan kemudian menyatakan isi hatiku dengan menuliskannya di sebuah buku. Hening, dia membaca tulisanku, senyum dan mimik serius bergantian menghias wajahnya. Lalu, dia menutup buku itu, dengan sebuah senyuman. Memandangku, yang gemetar walau tidak kedinginan. Lalu dia memulai pembicaraan,
"Mm, aku sudah baca. Aku suka tulisanmu, suka caramu mengungkapkannya. Maksih ya!"
Aku mengangguk..
"Trus, sekarang, aku jawab nih?" lanjutnya.
Eh, entah angin dari mana, mungkin karena ge-er menilai mimik wajah dan senyumannya, keluarlah kalimat yang aku sesali seumur hidup dari bibirku,
"Melati (bukan nama sebenarnya -tagesi), aku sudah cukup senang berani menyatakan isi hatiku padamu. Apalagi kau tidak marah atau meremehkan perasaanku. Jadi, itu sudah cukup untukku. Apapun jawaban mu, atau bahkan tidak kau jawab sama sekali, aku tidak akan mempermasalahkan.."

Itu cukup untuk disebut kebodohan. Seketika mimik wajah gadis itu berubah, dia meletakkan buku itu dengan sedikit kasar di meja, lalu menjawab,
"YA sudah kalo gitu! Aku jawab aja, biar tidak ada urusan belakangan. biar selesai. Aku jawab tidak!"

Meldaklah matahari didepanku, hampir kiamat.
Meskipun akhirnya dia sedikit melembut ketika aku permisi pulang dengan mengucapkan terimakasih sudah datang, tetap saja kebodohan menjadi kebodohan. Sejak saat itu, tidak ada lagi percakapan, kecuali say Hi, dan senyum basa-basi..

Apa hikmah dari sebuah kebodohan, cari sendiri!

MEMANG ADA HIKMAHNYA??

Antara Black Coffee dan Brown Coffee; Antara Yerry Makarawung dan Taor Geovanny





Beberapa hari yang lalu, saya bernostalgia dengan bapak rohani saya ketika mahasiswa, Yerry Makarawung. Wah, saya dan istri menikmati betul pertemuan itu. Istri yang tadinya ngidam Pizza, kelihatannya lebih menikmati obrolan kami disbanding potongan pizza yang tersaji. Sembilan tahun tak bertemu, tidak membuat hal-hal indah yang dulu kami alami berubah menjadi rasa canggung. Hanya setahun bang Yerry melayani menjadi staf LPMi di UNPAD Jatinangor, setahun pula saya dan dua orang saudara rohani saya (Chandra Panangian MAnalu dan John Franky Audermansen Imanuel Sinaga) menikmati hidup di bawah pengaruh rohani dan teladan hidup nya. Hanya setahun, tetapi menjadi tahun penuh makna dan kenangan, kemudian bang Yerry pergi tanpa memberitahu kabar apapun pada kami. Kemarin dia bercerita, hanya untuk menjaga semangat yang sedang menyala-nyala di dalam diri pemimpin baru seperti kami, dia pergi tanpa pernah bercerita alas an apa yang melatari keputusannya.

Senin kemarin kami bertemu lagi, tanpa kecanggungan. Saya bercerita bagaimana hidupnya begitu menginspirasi saya, menginspirasi kami. Saya bercerita betapa saya menganggap dia sebagai staf kampus terbaik yang pernah dimiliki LPMI (setidaknya selama saya kenal LPMI sejak tahun 2000). Dialah staf yang mempraktekkan benar-benar apa yang didapatkannya selama belajar di Pusat Latihan Amanat Agung LPMI. Kami melihatnya di kampus setiap hari, kecuali senin pagi dan kamis pagi. Tidak seperti kebanyakan staf sekarang, yang berkoar-koar sedang membangun gerakan tanpa pernah tahu di mana letak toilet di kampus yang mereka layani. Bang Yerry menyapa mahasiswa, PA, PI, sharing visi, berdoa keliling, dan melakukan kgiatan-kegiatan lain yang ketika itu belum saya mengerti, namun telah pula menjadi bagian hidup saya sekarang. Bang Yerry menghabiskan banyak waktu untuk membaca, persiapan PA, WM, dan rapat-rapat kecil yang kami lakukan. Baru kemarin dia memberitahu alasannya. “Kalian bertiga kritis, mempertanyakan segala-galanya.” Dia pun memasak bagi kami, traktir makan kalau bertemu di kampus. Bagian kami hanya cuci piring (sebenarnya, John mengambil alih pekerjaan ini, karena hobi katanya). Pernah suatu kali, saya seminggu berturut-turut tidak pernah dating ke sekretariat. Chandra berulang kali bilang, Bang Yerry mencari-cari. Hp belum lazim pada waktu itu. Saya terkejut sekali, selesai kuliah menemukan dia ada di depan kampus, tersenyum dan bilang sengaja ingin bertemu. Lalu kami berjalan menuju gerbang kampus, “Kita makan di Doa MAnde, or! Saya traktir.” Aura mahasiswa saya tak bisa menolak, maka kami pun menuju kesana. “Silahkan ambil dulu, or! Abang ke toilet dulu.” Saya pun mengambil sepiring ayam dengan sepotong nasi. Sampai di meja, sudah ada es the manis, tapi bang Yerry belum juga memesan makanan. “Saya belum lapar, Taor saja!” Saya jadi merasa tidak enak, tetapi tetap memakan piring (nasi dipiring, -tagesi) saya. Lalu pembicaraan menjurus ke hal-hal lain seputar kuliah dan keluarga. Di akhir, dia baru minta saya untuk dating lagi, ikut Wm dan PA. Sogokannya manjur, apalagi waktu Chandra (yang memang tinggal dengan bang Yerry di sekre, maklum kere, he-he.) membuka rahasia, “Or, BAng Yerry lagi ga punya uang loh, eh malah nraktir kau.” Dasar Chandra, sengaja membuat aku ga enak hati sampai ingin memuntahkan kembali makanan itu. He-he lagi. Memang, bang Yerry menghabiskan hamper seluruh dana pelayanannya untuk kami, lupa bahwa ada pacar yang harus cepat-cepat dinikahi.

Kemarin saya mengeluh kepada bang Yerry, yang selama melayani di LPMI hanya focus kepada 7 mahasiswa (3 di UNJ, 4 di UNPAD), namun hidupnya berbuah. Semua anak rohaninya benar-benar terinspirasi atas pelayanannya, hamper semuanya berhasil menjadi pemimpin dimana-mana (minus saya). Sementara saya elah melayani lebih banyak sepanjang 4 tahun ini, dan tidak ragu untuk bilang, saya pun sungguh-sungguh, saya memberi apa yang saya punya untuk mahasiswa, anak-anak rohani saya. Tetapi belum pernah saya menemukan mahasiswa yang begitu ‘excited’; seperti saya terhadap bang Yerry. Saya merenung di rumah, terngiang kalimat bang Yerry menguatkan saya senin lalu,
“Mungkin yang membedakan kita Cuma temperamen saja, Taor. Jangan menyerah!”
Memang kami begitu berbeda, kalau mencoba membandingkan kami berdua, seperti ‘brown coffee’ dan ‘black coffee’. Bang Yerry yang coklat, aku yang hitam. Brown coffee diminum untuk bersantai, kadang dalam bentuk three in one, plus susu dan gula. Benar-benar disukai, memberikan pengaruh sedikit demi sedikit. Brown coffee (apalagi cappuccino) bahkan bisa diminum bergelas-gelas setiap hari. Sensasi yang diberikannya benar-benar indah, apalagi dalam suasana dingin, hujan. Benar-benar menambah akrab dan hangat suasana. Inspirasi brown coffee bahkan membuat pena penulis menari-nari, membangkitkan potensi.

Bagaimana dengan black coffee? Penikmatnya jarang, saya pun bukan salah satunya. Rasanya yang pahit, sebanding dengan kehitamannya yang pekat. Saya pernah menikmati coffee latte di salah satu café did ago. Pagi-pagi, sambil ber- hot spot ria, saya asal pesan saja. Padahal pelayannya sudah memperingatkan. Alhasil hadirlah kopi dengan cangkir maha kecil yang Cuma terisi setengah. Pahit minta ampun, semua saraf di kepala saya seperti menegang. Katanya itu biangnya kopi, diminum sedikit-sedikit. Saya teringat pada ‘oppung doli’ yang menghabiskan kopi pahit yang dibuat pagi hari, baru pada sore hari. Tapi dampaknya, itu tadi: ‘KESADARAN TOTAL’. Secangkir kopi pahit akan memuluskan selesainya pekerjaan satpam jaga malam.

Saya memang lebih suka menjadi brown coffee; cappuccino. Tapi, sepertinya saya harus tahu diri, saya ini black coffee; kopi pahit. Saya masih berharap beberapa tahun kedepan akan bertemu kembali dengan anak-anak rohani saya yang menyambut saya dengan antusias, senyum, dan pengakuan betapa hidupnya berubah karena pekerjaan Yuhan melalui pelayanan saya sewaktu dia kuliah dahulu. Tetapi seandainya itu tidak terjadi pun, saya harus mengucap syukur atas beberapa syaraf kendur yang kemudian menegang; atas otak tumpul yang menjadi tajam; atas KESADARAN TOTAL yang mereka alami.

Kutuk “menjadi berguna, cukuplah!” kelihatannya akan menjadi salib yang harus saya pikul tiap-tiap hari.

TERIMA KASIH BANG YERRY, TERIMA KASIH SUDAH MENJADI ‘BROWN COFFEE’ BAGI KAMI!


--TAGESI

ARTI USIA 27 BAGIKU


Aku membuat sebuah catatan dengan judul 'things to do before 27' pada tahun 2005 yang lalu, tepatnya sudah lima tahun berjalan. KEmarin ketika ada kesempatan membukanya kembali, hanya dua dari tujuh mimpi yang menjadi kenyataan. Lima lainnya dibungkus dalam dua itu; artinya ketidak- terwujudan kelima yang lain sangat banyak karena sumbangsih mimpi pertama dan kedua.

Begitulah manusia, tidak mengetahui apa yang diinginkannya, tidak melihat jauh kedepan, dan tidak mampu mengatur hidupnya. Dengan semangat yang sama, setiap orang merangkai keinginannya seolah dia lah orang bijaksana yang bisa mengatur seluruh jalan-jalan hidupnya. Aku mengerti sekarang, karena dulu pernah menuliskan keinginanku, sehingga jelas bagiku, 'sekaliber apa otakku' dan 'sehebat apa diriku'. NOL BESAR; ibarat kate (meminjam istilah BEnyamin S. di pelem si DOEL): merangkai rencana untuk menghabisi nyawa sendiri.

Dulu, aku menginginkan sudah menikah di usia 27; KESAMPAIAN. Embel-embel harus dengan cewek cakep yang cakap, pun kesampaian. Padahal modal untuk itu nihil (bukan modal uang maksudku, itu bisa dicari.. modal lain, yang kalo kalian lihat foto nikah kami, kalian pastilah tahu. tapi t-s-t lah kita. tidak usah digembar gemborkan, karena tanpa itu semua orang pun pasti sadar). Aku meletakkan pilihan bijak dan tepat, apalagi ternyata mimpi pertama ini menjadi syarat yang harus terpenuhi untuk menjalani mimpi kedua: MENJADI PELAYAN. Kesampaian juga; sekarang aku menjadi (hampir) pelayan di salah satu lembaga misi untuk mahasiswa. Dan setelah menjalani lebih dari empat tahun hidup sebagai staf di lembaga itu, 3 bulan pertama dari tahun kelima terasa berbeda. Kehadiran istri memberikan penguatan yang membuat aku lepas dari 'keinginan-keinginan memberontak'.

Aku bayangkan, seandainya saja aku belum menikah, atau menikah dengan orang yang kurang tepat, akan beda ceritanya. Setiap hari akan berubah menjadi keluhan-keluhan yang tak terucapkan, menyalahkan diri, dan orang lain (ini akan lebih banyak), dan menjalani hari-hari tak ubahnya sebagai tahanan kehidupan. Bersyukur, mimpi pertama ku masih sejalan dengan yang ke dua.

Tapi malang nasibnya mimpi-mimpi seterusnya, aku mulai melihat hal-hal yang secara natural diam di hatiku, sebagai (waktu itu) lulusan baru yang penuh ambisi. Aset, sekolah lanjut, keliling eropa, dan dua mimpi lain yang terlalu memalukan untuk ditampilkan. Bagaimana mungkin, seorang 'pelayan' yang bahkan tidak pernah menerima gaji sejak tahun pertamanya 'bekerja' mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mimpi-mimpi seperti itu? Untuk hidup sampai saat ini saja adalah kasih karunia. Kebahagiaan yang dicapai sungguh tidak terbayar, bahkan tanpa mimpi-mimpi itu.

Benar, kebahagiaan itu telah bergeser. Kupikir dulu, tidak ada yang lebih membahagiakan ketimbang meraih PhD di usia ini. Itu akan menjadi pencapaian fenomenal untuk ukuran seorang anak siantar (TOZAI tepatnya. setengah orang siantar bahkan meragukan tozai sebagai bagian dari 'kota' siantar. ckckckckck..) dan membawa ku kepuncak kebahagiaan. Tapi ternyata, ucapan 'aku mencintaimu, dengan setulus hatiku' dari istri sendiri (bukan istri orang) justru di saat-saat terberat dalam hidup telah menjadi kebahagiaan yang jauh lebih bernilai. Takkan aku tukar, dengan PhD dari HARVARD sekalipun. Akan terdengar klise, bila belum mendengar kisahku, tapi akan lebih klise bila kisah itu kuceritakan di catatan ini.

Dulu, kebahagiaan pun aku gambarkan dengan menerima karangan bunga ketika mendarat di bandara suatu negara, untuk mengajar beberapa sesi disana. Tapi (semoga aku berhasil tidak melebih-lebihkan kisah ini) semuanya luluh ketika sabtu kemarin, di sebuah ruangan kecil, diantara beberapa mahasiswa, aku menerima 'kado ulang tahun' dengan pita coklat. bukan kado nya, tetapi mahasiswanya, telah membuat aku hampir meneteskan air mata. Semoga kado itu berarti, mereka sedang memberi sedikit 'penghormatan' kepada seorang staf muda yang eksentrik, yang telah mengacaukan hidup mereka dengan teriakan-teriakan. Dan itu juga adalah kebahagiaan puncak bagiku. Tania tahu (karena memang dia tahu) betapa bahagianya aku.

Arti usia 27 bagiku adalah: bersyukur, berdoa, dan berharap (meminjam kalimat mantan ketua komunitas mawar merah..); bersyukur untuk semua hal yang telah dijadikannya bagiku (melebihi yang bisa kurangkai), berdoa untuk orang-orang terkasih yang Tuhan ijinkan mengelilingi ku, dan berharap agar sisa hidupku benar-benar bisa memberi arti kepada istriku, anakku, mama dan adik-adikku, keluarga besarku, sahabat-sahabatku, anak-anak rohaniku, bangsaku bangsa batak, negaraku Indonesia, Gereja Tuhan ku, orang-orang yang belum kukenal namun masih akan menambah deretan nama di hidupku, dan akhirnya TUHAN ku dipermuliakan lewat semuanya itu. Lihat, betapa panjangnya daftar ini, dan betapa singkatnya waktu-waktu yang tersedia, dan semakin sadarlah aku, betapa sia-sianya jika hidup singkat yang kumiliki harus dihabiskan dengan pencarian terhadap mimpi-mimpi yang dulu kumiliki. Mereka tidak butuh orang kaya, orang bertitel s3, orang yang punya pengalaman keliling dunia, untuk memberi sedikit kenangan bagi hidup mereka. Entah pula, justru semuanya itu malah membuat aku yang menjadi pusat perhatian dan menuntut sesuatu dari semua..

OLD THINERS NEVER DIE; THEY ARE JUST MOVING



THINERS is name of group of leaders (18) in LPMI (CCC) BANDUNG.

Next saturday will be a difficult day to be faced. I will let my great leaders out from our circle. They will leave their position to be continued by their sipiritual generative. They must pass the torch on. Sadly, they are leaving us. Half of them will continue their mission in a different world. Since this is their final year, a real world outside are waiting for them.

For about a year, they have been battling hard for the succesful story of a project named movements everywhere. I did not mean that they have built us a real movements everywhere building directly infront of our eyes; also i did not mean that Bandung or ITB has been saturated. The main goal is still far from what we have done. But, they are all proving the world that the spiritual journey of movements everywhere is really excist.

Movements everywhere is not an utopian dream that it may not be reached, but it's not a cheap one that can be reached easily. It is a giant mountain, a huge valley; it is a top mountain on Himalaya which can only be conquered by Everest. On building movements everywhere, what we need best are leaders. More Everest will be able not only for reaching the top mountain, but also for moving those mountains right to the middle of the Pacific Ocean.

And believe it or not, those kind of leaders are emerging and ready to be blossoming, here right now in our base. They are not perfect, even sometimes they are lazy, quick to response, mad of so many responsibilities, late to multiply, and not so obidient; but they are surely leaders. They know what to do and how to do it by their own conceptual pattern; they have wisdom; they have compassion; and they take upon to say 'forgive me, I was wrong'. It is really a huge blessing to be their co-journer for almost three years. I can only share a little bit of my dream, life, and friendship; and put it on their shoulders.

Ok, fine, you may go now! But remember of praying for us; and keep on our journey for a lifetime, to make this world awake, to change every community which you are in as a part of them, and to show them that you have dream as a big picture of every simple thing you do.
Please, make my life worthy by every story that I hear about you from outside! Because deep inside my heart, I admit that you are valued ten times better than me!

Penghargaan Presiden Kepada Dua Putera-Puteri Terbaik Bangsa



Dicaci maki di Pansus Century, foto nya di sobek-sobek di setiap demo, dan di usulkan untuk turun dari jabatannya; Namun kemarin diangkat setinggi-tingginya oleh Presiden sebagai Pahlawan.

Luar biasa SBY, kesetiakawanan nya sungguh mengagumkan kepada dua 'anak buah' nya itu. Mengakui dan menegaskan dukungan penuh bagi dua pejabat negara yang sedang menjadi daftar teratas untuk dilengserkan oleh beberapa partai politik, bagi saya adalah keberanian.

Saya memang bingung dengan masalah century ini, mendengar SBY, Mulyani, dan Boediono menjelaskan kebijakan mereka, bagi ku sah-sah aja. Walaupun penjelasan pak Gie, beberapa ekonom dan politikus memperjelas bagi saya bahwa ada yang salah (dalam prosesnya). Tapi tetap saja, dalam tataran kebijakan, saya setuju bahwa situasi krisis membuat semua hal tidak bisa dipikir secara lengkap dan sempurna. Setidaknya, dua hal yang saya pegang:
1. Indonesia lepas dari krisis
2. Aliran dana ke Demokrat tidak terbukti.

Bagi saya, sejak awal absurd melihat PKS yang sok jumawa sebagai partai penting di awal Pilpres kemarin. Keinginan mereka menempatkan mantan ketua MPR itu sebagai CAWAPRES, begitu menggelikan. Mereka tak paham, bahwa rakyat lewat pemilu sudah menunjukkan keinginan politiknya: bukan pada PKS (yang lewat atraksi politiknya seolah-olah akan menjadi partai terbesar). Tidak sampai 10% yang memilih PKS. Tapi, dalam setiap pernyataannya seolah-olah mengatas namakan rakyat. Golkar pun sama saja, masuknya mereka ke dalam koalisi, menunjukkan sikap oportunis nya.

Kembali ke pidato presiden kemarin, sedikit banyak berhasil (setidaknya bagi saya) untuk memperbaiki citra SBY. Bersikukuh bahwa kebijakan bailout adalah benar, menunjukkan konsistensi. Dan memang, saya heran mengapa kebijakan bisa diadili sebegitu rupa. Kalau gara-gara bail out lantas Boediono harus turun, maka mengapa tidak sikap kekanak-kanakan anggota DPR harusnya menjadi alasan yang cukup untuk menyimpulkan bahwa banyak dari mereka yang tidak layak duduk di kursi terhormat itu.

Saya bukan orang demokrat; bukan pula pendukung SBY. Tapi bagi saya, SBY adalah presiden sampai 5 tahun ke depan. Kalau dia korupsi, atau selingkuh, atau terlibat penjualan pulau, barulah kita beramai-ramai menurunkan dia dari kursi kepresidenan. Tapi, saya pikir absurd sekali meneriakkan penurunan dirinya dan wakilnya, gara-gara ekonomi yang tidak kunjung membaik, atau masalah apapun yang berhubungan dengan prestasi. Bagi saya, sekalipun akhirnya terbukti, SBY bukan presiden yang berhasil, dan tidak banyak kemajuan dalam pemerintahannya, tetap saja dia presiden. Boleh saja ada yang berdemo siang dan malam (kalau malam diijinkan) di Istana, dan teriak-teriak protes di seluruh media, itu hanya untuk memperingatkan dia agar bekerja lebih baik. BUKAN MENURUNKAN SEORANG PRESIDEN!!!

SBY sudah terpilih, ya sudahlah!! artinya, pintar atau tidak, berhasil atau tidak, dia presiden kita sampai 2014. Kalo kurang, ya di kritik, bahkan kalo bisa (pasti ga bisa) dibantu; bukan disuruh turun. Faktanya, rakyat yang memilih 2 kali lebih banyak dibandung konstituen masing-masing partai yang sok ribut itu.

Indonesia belum maju, masih banyak yang kurang, pemerintah harus sadar itu!! Maka doakan dan dukunglah mereka untuk bekerja smpai 2014. Kalau tidak berhasil, jangan pilih lagi..
Memang, kasihan bangsa ini kalau sampai 2014 kita tidak bergerak maju.. Tapi, segitunya kah?
Fakta mengatakan, lebih banyak kerugian negara gara-gara Pansus Century dibanding bail out itu sendiri. Walaupun, saya setuju: kebenaran harus ditegakkan walaupun garganya mahal.
Tapi janganlah di mahal-mahal in.. Sehingga masalah dibuat ribet.

Emang mereka pikir, berapa biaya menurunkan dan menaikkan lagi seorang presiden?

Kembali lagi: Dari awal saya tahu bahwa Ibu Mulyani dan pak Boediono masihlah salah satu ekonom terbaik bangsa ini. Fakta bahwa Indonesia selamat dari krisis, adalah pula prestasi mereka. Penghargaan presiden tadi malam, sudah layak dan sepantasnya (terpisah dari kesalahan-kesalahan di Century).

Dari awal saya suka pak JK tetap sebagai WaPres, dan Boediono di BI atau di kementrian. Tapi kalau sudah begini, mau apa lagi?

Terakhir, Boediono dan Mulyani masih putra terbaik bangsa ini; atau setidak-tidaknya lebih baik dari Akbar nya Hanura, Fachri nya PKS, atau Bambang nya Golkar. Mungkin Lebih baik juga dibanding Ara atau Sudjatmiko nya PDI-P.. Menurut kacamata saya, yang harganya cuma 250 rb.

Proses Pembelajaran



“Intellectual growth should commence at birth and cease only at death”
Sapa lagi yang ngomong gitu kecuali Oppung Albert Einstein Siahaan..

Aku orang yang memegang Roma 12: 2 (.. tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu..) sebagai jalan utama hidupku sebagai manusia Allah. Bagiku, pertumbuhan intelektual sejalan dengan pertumbuhan iman; sangat mustahil bagi seseorang yang tidak berkembang secara pengetahuan/pengenalan akan Tuhan untuk semakin menikmati pertumbuhan rohani. Okey, pengetahuan disini bolehlah empiris (berdasar pengalaman), tetapi tetap aja perubahan menuntut adanya proses pembelajaran.

Untuk belajar ini, guru formal bukanlah sarana satu-satunya; ada juga buku, internet, cerita, pengalaman diri sendiri, dan kotbah (Minggu atau Sabtu atau Senin). Tapi bagi ku, belajar paling efektif adalah dengan menjadikan semua orang di sekitar ku menjadi guru. Mereka layak bisa menjadi guru, bahkan bagi ku, mereka layak, sangat layak menjadi guru. Aku berani mengklaim, proses pembelajaranku lebih dari 50% dihasilkan dari mendalami dan menghargai hidup para 'guru' ku. Belajar dari keberhasilan dan kegagalan mereka; belajar dari gaya hidupnya; mengamati cara berbicara dan mendengar mereka; melihat respon mereka terhadap 'nasib' diri; dan tertegun akan sikap mereka memaknai hidup.

Rupa-rupanya itulah gaya ku belajar. Menjadikan siapa saja menjadi guru; dan menjadi guru bagi siapa saja. Semua menarik dalam pengamatanku; walaupun itu sekadar gaya pengamen ketika menerima 'sedekah'. Pengamen yang berdoa bagi ku setiap kali aku memberi 'hanya' koin lima ratus rupiah, menyadarkan ku, betapa berharganya jumlah itu bagi mereka. Lima ratus rupiah yang mereka terima, dibalas dengan doa bagi mereka yang memberi, dengan ucapan "Tuhan membuat selamat perjalanmu". Wah, bagi saya yang sadar betapa berharganya doa yang terucap untuk orang lain (apalagi untuk orang yang tidak dikenal), sadar bahwa pemberian ibu-ibu tua itu sebenarnya lebih banyak dibanding pemberianku. seharusnya aku perlu berterima kasih lebih banyak.

Aku selalu sadar, bahwa tiap orang diciptakan untuk menjadi kepingan puzzel bagi orang lain. Bahwa pembelajaran hidup dan proses menuju kedewasaan orang itu tidak akan sempurna tanpa kita. Belajar sesuatu dari siapa saja ibarat menyelesaikan keping demi keping puzzel, sampai kepada suatu gambar yang utuh. Satu keping puzzel saja, akan mengurangi keutuhan gambar besarnya. Di sisi yang lain, menyediakan diri kita menjadi guru bagi orang lain, sebenarnya harus dimaknai sebagai tawaran bantuan sekeping (atau bahkan beberapa keping sekaligus) puzzel bagi gambaran yang utuh akan dirinya.

Memaknai hidup sebagai proses pembelajaran membawa kita pada kebenaran lain, bahwa dunia ini hanya sekolah. Belajar dan ujian adalah bagian utama hidup, sampai kita dinyatakan lulus, dan diberi pekerjaan besar di SANA..

Sampai memutih rambutmu, kamu adalah murid bagi siapa saja; sampai saat kematiaanmu, kamu adalah guru bagi siapa saja. Selalu saja ada yang dipelajari dari siapapun; selalu saja ada yang kamu punya untuk diajarkan pada siapapun. Dan semoga, apa yang kita pelajari dan ajarkan; semuanya adalah yang baik dan bernilai kekekalan. Karena hanya yang kekal yang berlaku di KEKEKALAN..

Selamat menjadi murid; selamat menjadi guru: asal jangan menggurui.. =) !

To God Be The Glory!

HIDUP YANG MENGINSPIRASI ITU APA



Kadang-kadang aku bertanya-tanya juga, kira-kira hidup seperti apa yang benar-benar menginspirasi?
Untuk menjawabnya, aku membaca beberapa buku, buku yang baru saja aku baca, judulnya "SE7EN HEROES" oleh Andy Noya. Isinya, 7 orang yang dianggap hidup sebagai pahlawan. Berbeda profesi, daerah, namun punya kesamaan: (menurut Andy) sama-sama punya kekurangan dan sama-sama punya hidup yang menginspirasi.

Tadi, ada pesan yang masuk ke inbox ku, isinya, "...Bang, terima-kasih sudah menginspirasi hidupku..." Heran juga aku, hidup seperti begini sudah bisa menginspirasi orang lain. Padahal, pengen rasanya seperti seorang figur, begitu menginspirasi. Gaya nya berdiri saja, bisa kueksposisi panjang lebar, dan membuat aku terkagum-kagum. Kalau berada di dekatnya, begitu merasa inferior. Aku jadi mikir, kalau saja si adik mahasiswa (mm, maaf ya de! =)) yang kirim pesan ke inbox ku itu berkesempatan ketemu dengan inspirator yang aku ceritakan tadi, bagaimana lagi? Ah, tapi kenapa ketemunya dengan aku ya? Kasihan dia..

Ada lagi buku yang baru ku baca, "Leadership the Challenge"
Di buku itu dituliskan, "Jangan pernah meremehkan pentingnya menghargai setiap kesempatan bertemu dengan orang lain! Di saat-saat itu selalu terselip 'kesempatan emas' untuk mengubah hidupnya."

Aku jadi yakin, tidak ada pribadi yang terlalu malang, sampai-sampai tidak punya peluang dan kemampuan untuk menginspirasi hidup orang lain. Yang ada hanyalah orang-orang bodoh, yang walaupun diberikan seribu kesempatan untuk menginspirasi dunia, selalu dibuang percuma.

Benar-benar indah, kalau setiap kita bertemu orang lain, yang menjadi tujuan utama kita adalah, "menginspirasi hidupnya".
BAgaimana caranya? Selalu mentok di sini..

Diskusikanlah!

BUKTI DARI KASIH KARUNIA ADALAH HIDUP YANG BERMAKNA


Saya sedang terkagum kagum dengan 1 lagu; 'semua karna cinta' (bukan penyanyinya).

Mr. Hendy Vernando (papaku, heran keren bgt namanya) pernah berkata:
"Nasi goreng itu ada yg dijual dipinggir jalan dan direstaurant. Tp nasi goreng terenak sedunia itu ada disini, dirmh kita, buatan mamamu."

Alasan papa? simpel, krn mama memasak dgn cinta. Pdhl, bumbunya cuma bawang, ketumbar, dan kecap manis.

Saya berpikir, jika ada cinta di hati kita, sesederhana apapun hidup kita, akan manis terasa, bagi org lain.
;)

KEJAM


Sajak ini saya kutip dari buku nya John Stott (Isu-isu Global), judulnya saya berikan sendiri.
Ceritanya, ada seorang perempuan malang yang tidak punya tempat berteduh, melapor kepada pendeta akan kondisinya, namun dengan mimik tulus dan serius, namun terlalu sibuk untuk langsung membantu, pendeta itu berjanji akan mendoakannya. Dengan sangat kecewa, perempuan itu meninggalkan gereja, dan menuliskan sajak ini.

Saya berharap sajak ini seolah-olah di serukan ke telinga kita, oleh 'dunia' yang gemetar kelaparan, kedinginan, dan penuh harap menantikan kasih nyata kita.
Sajak ini, bagi saya adalah cerminan, betapa terkadang keberagamaan ku bukan menjadi berkat, malah batu sandungan bagi orang lain.

Saya kelaparan,
dan anda membentuk kelompok diskusi untuk membicarakan kelaparan saya.

Saya terpenjara,
dan anda menyelinap ke kapel anda untuk berdoa bagi kebebasan saya.

Saya telanjang,
dan anda mempertanyakan dalam hati akan kelayakan penampilan saya.

Saya sakit,
dan anda berlutut menaikkan syukur kepada Allah atas kesehatan anda.

Saya tak mempunyai tempat berteduh,
dan anda berkotbah kepada saya tentang kasih Allah sebagai tempat berteduh spiritual.

Saya kesepian,
dan anda meninggalkan saya sendirian untuk berdoa bagi saya.

Anda kelihatan begitu suci, begitu dekat kepada Allah.
TApi saya tetap amat lapar -dan kesepian- dan kedinginan.

DIA ADALAH TUHAN ALAM SEMESTA; BUKAN HANYA TUHAN GEREJA


Sudah lama hatiku risau melihat semakin tenggelamnya iman kepada dua ekstrem. Ekstrem ini nyata pada dua sikap: LArut atau terpisah.. Ibarat minyak dan air dalam gentongan dibanding dengan segelas teh manis dingin.Justify Full

Tuhan yang kita sembah adalah pencipta alam semesta, DIA bekerja penuh kuasa dengan cakupan semesta. Mata NYA menjelajah ke seluruh bumi.

Mzm133: 4-15
Sebab firman TUHAN itu benar, segala sesuatu dikerjakan-Nya dengan kesetiaan. 5 Ia senang kepada keadilan dan hukum; bumi penuh dengan kasih setia TUHAN. 6 Oleh firman TUHAN langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala tentaranya. 7 Ia mengumpulkan air laut seperti dalam bendungan, Ia menaruh samudera raya ke dalam wadah. 8 Biarlah segenap bumi takut kepada TUHAN, biarlah semua penduduk dunia gentar terhadap Dia! 9 Sebab Dia berfirman, maka semuanya jadi; Dia memberi perintah, maka semuanya ada. 10 TUHAN menggagalkan rencana bangsa-bangsa; Ia meniadakan rancangan suku-suku bangsa; 11 tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hati-Nya turun-temurun. 12 Berbahagialah bangsa, yang Allahnya ialah TUHAN, suku bangsa yang dipilih-Nya menjadi milik-Nya sendiri! 13 TUHAN memandang dari sorga, Ia melihat semua anak manusia; 14 dari tempat kediaman-Nya Ia menilik semua penduduk bumi. 15 Dia yang membentuk hati mereka sekalian, yang memperhatikan segala pekerjaan mereka.

Luar biasa, TUHAN yang kita sembah bukanlah penguasa yang duduk-duduk di tahtanya, TUHAN yang kita puja bukanlah TUHAN yang senang dan ngiler hanya pada puja-puji penyembahan kita, DIA bukanlah sekedar penikmat 'ritual persembahan'. DIA BEKERJA.. DIA masih bekerja, dan pekerjaan nya bukanlah terbatas pada 'penyembah-penyembah'; apa yang dilakukanNYA bukanlah kompensasi dari sesajen yang diberikan kepada NYA. DIA menilik semua penduduk bumi, dan mengerjakan yang baik di tengah-tengah mereka.

Mzm146: 7-9
Dia yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya; yang tetap setia untuk selama-lamanya, 7 yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti kepada orang-orang yang lapar. TUHAN membebaskan orang-orang yang terkurung, 8 TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar. 9 TUHAN menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya. 10 TUHAN itu Raja untuk selama-lamanya, Allahmu, ya Sion, turun-temurun! Haleluya!

TUHAN kita ada di tengah-tengah bangsa, di tengah-tengah umatNYA, bekerja di antara miliaran manusia. DIA tidak meringkuk di balik altar gereja. DIA tidak berpangku tangan di atas ketidak adilan yang menganga. Meskipun semua yang terjadi menyusahkan pikiran NYA, memedihkan hati NYA, dan memisahkan NYA dari ciptaan NYA, karya NYA, wujud kasih NYA, cermin kemuliaan NYA. Bahkan karena kepedihan hati NYA itulah, IA turun menjadi manusia, merelakan nyawa di atas kayu salib, dan bangkit dengan kemenangan. Kemenangan yang memberi kita kuasa, kuasa yang dapat mengubah hati bangsa-bangsa, yang menjadi jawaban bagi dunia.

Jadi jelas, TUHAN yang (aku) kita sembah, tidak senang berada lama-lama di gereja, DIA tidak suka berbasa-basi di persekutuan-persekutuan, DIA enggan melawat orang-orang 'suci' yang membahas kitab-kitabNYA dengan mulut berbuih namun tanpa aksi.

TUHAN yang (aku) kita sembah, adalah TUHAN yang malu melihat tingkah kaum munafik yang 'berjuang membela tuhan'. TUHAN yang mana? Sedang TUHAN yang mereka bela, menyingsingkan lengan jubah NYA, turun tangan membela kaum lemah, bekerja sambil menangis membalut tubuh penuh luka dari ciptaan NYA, yang di bom, di rajam, di pukul, dan di bakar, atas nama agama.

TUHAN yang (aku) kita sembah, mungkin sedang bekerja sendiri menyemangati dosen dan guru di
gedung-gedung kampus dan sekolah, berlari kesana kemari di kantor-kantor pemerintah, mengunjungi satu persatu tempat tidur di rumah-rumah sakit, berlutut melerai di medan-medan pertempuran. dan berteriak-teriak akan kejujuran di perusahaan-perusahaan, dan mengelus-elus dada mendengar teriakan dan makian di Senayan.

DIA tidak lagi nyaman berada di gereja, DIA tidak lagi tersenyum melihat kantong-kantong persembahan yang terkumpul. TUHAN, YA TUHAN MUAK MENDENGAR DOA-DOA DAN NYANYIAN KITA..

DIA menangis, karena selagi kita berkumpul, tidak ada gereja di kantor-kantor, tidak ada gereja di sekolah dan kampus, tidak ada gereja di pasar, tidak ada gereja di gedung-gedung pemerintah. Penyembah-penyembah TUHAN merasa bahwa TUHAN nya cukup puas akan ayat hafalan, dan tersenyum akan ktp nya yang berlabel kristen.

TUHAN yang kita sembah sedang susah hati, DIA memanggil bahkan meneriakkan nama kita:
“KAMU ADALAH GARAM DUNIA… KAMU ADALAH TERANG DUNIA… AKU ADALAH ALLAH SEMESTA… TOLONG, BANGKITLAH! JANGAN PERMALUKAN NAMAKU, DENGAN TERUS MENERIAKKANNYA BERIRINGAN DENGAN TERIAKAN MEREKA YANG KELAPARAN, KEHILANGAN HARAPAN, DAN MAKIAN-MAKIAN KEPADA PENYEMBAH TUHAN”

TUHAN kita TUHAN alam semesta, DIA merindukan pengenalan akan DIA menyelubungi seluruh bumi, bukan menyelubungi gereja. DIA ingin penyembah-penyembahnya menjadi agen kasih, agen kebenaran, dan pembela keadilan di setiap bidang profesi, di setiap sudut jalan, di setiap gedung, dan menjadi pembawa perubahan di mana saja dia TUHAN tempatkan.