Kamis, 08 April 2010

Mengambil Hikmah dari Sebuah Kebodohan


Semua orang pernah bertindak bodoh, setidaknya itu asumsi ku. Dan biasanya, sebuah kebodohan memberi dampak lebih besar dan panjang dari kuantitas dan kualitas waktu yang dihabiskan untuk menghasilkannya. Karena berdasarkan pengalaman ku, kualitas kebodohan tidak ditentukan oleh kuantitas waktu yang kita habiskan untuk memikirkannya. Bahkan semakin singkat (alias dadakan) waktunya, semakin berkualitas kebodohannya. Tak ada kebohan yang dipikirkan dan direncanakan matang-matang, kan?

Itulah yang terjadi padaku senin malam kemarin. Sebuah kebodohan terkonsep begitu saja dibenakku, dan biasanya (berbeda dengan misi mulia, yang sering diundur-undur pelaksanaan nya) begitu rencana kebodohan tercipta, maka tangan, mulut, dan kaki akan terasa gagal untuk mengejawantahkannya kedalam wujud tindakan nyata. He-he. Dan, rekasinya pun cepat sekali. Heran, bahkan tanpa rencana yang matang, tanpa tahapan-tahapan yang jelas, dan kemampuan yang memadai, sukses juga kebodohanku, mempermalukan diri, menyakiti hati orang lain, dan menutup kesempatan untuk meraih mimpi yang sudah hampir digenggaman. Tak pernah konsep ku yang paling matang sekalipun bisa sesukses ini.

Tadi aku sudah mengetik kebodohanku, sampai akhirnya aku putuskan untuk men 'delete' lagi. Namanya saja kebodohan, pasti menular. Aku takut, menulisnya disini malah menjadi pancingan untuk munculnya kebodohan yang lainlagi, walaupun dari orang yang berbeda. Cukuplah aku mengakui dengan jujur, aku sudah melakukan kebodohan berkualitas, yang hebatnya cuma menghabiskan waktu tidak sampai semenit waktu mengkonsepnya. Ada orang yang dipermalukan (diriku sendiri), yang kemudian menderita untuk sekian jam lamanya. Lebih memalukan dibanding Jatuh di Got Kampus, ketika mau pergi kuliah (yang juga pernah kualami dulu di JAtinangor). Ditonton orang-orang, yang senyum-senyum karena tidak tega melantunkan tertawa yang meledak-ledak; dibicarakan hampir sebulan dengan kisah-kisah yang itu-itu saja oleh teman satu kost, teman kuliah, dan loper koran yang setiap hari selalu menatap dengan mimik yang seolah-olah hendak mengatakan, "Ini kan orang konyol yang jatuh ke parit itu? Ya ampun, masih hidup ternyata.."

Apa hikmahnya? Setelah jatuh dari Parit, masukkan kepalamu ke tas yang kau sandang? Atau pindah kampus?
Bukan! Apalagi, jatuh di parit kampus (betapapun memalukannya) bukanlah sebuah kebodohan. Itu sebuah tragedi, yang tidak bisa dihindari (padahal, aku jalan hati-hati hari itu, karena belum terlambat. Hari-hari sebelumnya aku buru-buru karena terlambat, tidak pernah jatuh). Kebodohan yang aku maksud beda. Oya, aku teringat sesuatu contoh (tetap untu menghindar dari bercerita tentang kebodohanku kemarin):
Sewaktu SMU, aku pernah jatuh cinta pada seorang gadis cantik. Setelah merasa melakukan pendekatan, maka kuberanikan menyatakan isi hatiku. Aku datang kerumahnya, ngobrol sejenak, dan kemudian menyatakan isi hatiku dengan menuliskannya di sebuah buku. Hening, dia membaca tulisanku, senyum dan mimik serius bergantian menghias wajahnya. Lalu, dia menutup buku itu, dengan sebuah senyuman. Memandangku, yang gemetar walau tidak kedinginan. Lalu dia memulai pembicaraan,
"Mm, aku sudah baca. Aku suka tulisanmu, suka caramu mengungkapkannya. Maksih ya!"
Aku mengangguk..
"Trus, sekarang, aku jawab nih?" lanjutnya.
Eh, entah angin dari mana, mungkin karena ge-er menilai mimik wajah dan senyumannya, keluarlah kalimat yang aku sesali seumur hidup dari bibirku,
"Melati (bukan nama sebenarnya -tagesi), aku sudah cukup senang berani menyatakan isi hatiku padamu. Apalagi kau tidak marah atau meremehkan perasaanku. Jadi, itu sudah cukup untukku. Apapun jawaban mu, atau bahkan tidak kau jawab sama sekali, aku tidak akan mempermasalahkan.."

Itu cukup untuk disebut kebodohan. Seketika mimik wajah gadis itu berubah, dia meletakkan buku itu dengan sedikit kasar di meja, lalu menjawab,
"YA sudah kalo gitu! Aku jawab aja, biar tidak ada urusan belakangan. biar selesai. Aku jawab tidak!"

Meldaklah matahari didepanku, hampir kiamat.
Meskipun akhirnya dia sedikit melembut ketika aku permisi pulang dengan mengucapkan terimakasih sudah datang, tetap saja kebodohan menjadi kebodohan. Sejak saat itu, tidak ada lagi percakapan, kecuali say Hi, dan senyum basa-basi..

Apa hikmah dari sebuah kebodohan, cari sendiri!

MEMANG ADA HIKMAHNYA??

Tidak ada komentar: