Kamis, 08 April 2010

Ingatkah kita tentang Simon Petrus, murid Yesus yang pernah menyangkal Nya sampai tiga kali ketika Sang Guru diperhadapkan kepada Imam Besar untuk diadili?

Ada satu kisah lain tentang Petrus yang tidak ditulis dalam Alkitab namun tercatat dalam buku sejarah Gereja.

Pada tahun 64 Masehi, Kaisar Nero membakar kota Roma dan menuduh orang Kristen sebagai pelakunya. Kaisar Nero sangat membenci kekristenan, dan kerap menyiksa orang-orang percaya dengan cara-cara yang keji dan sukar dipercaya. Ada yang dikuliti hidup-hidup, dibakar, di jadikan mangsa binatang buas, sampai dibiarkan mati perlahan-lahan dengan siksaan-siksaan. Ketika kota Roma terbakar, dan para penduduk kota diberitahu bahwa orang Kristen lah pelakunya, maka dengan kemarahan yang meluap-luap karena kehilangan banyak harta benda dan nyawa keluarganya, mereka pun memburu para pengikut Kristus. Kekacauan besar pun terjadi, orang-orang Kristen berlari keluar dari kota Roma, mencari tempat yang aman dari kejaran penduduk kota yang kalap. Diantara para pelarian itu, Petrus yang sudah sangat tua dan telah berumur 72 tahun, ikut berlari tertatih-tatih meninggalkan kota Roma yang memerah dilalap api. Hatinya penuh ketakutan, batinnya berteriak kuatir, Petrus sangat mengerti bahwa sebagai pemimpin jemaat, dia mungkin saja menjadi buruan utama dari para serdadu romawi. Banyak orang Kristen yang telah tertangkap, dan dia harus terus berlari, jangan sampai ada yang melihat dan mengenalinya diantara kerumunan. Kakinya yang sudah goyah, dan tubuhnya yang sudah renta perlahan-lahan mulai merasakan lelah, jalanya sudah mulai terbungkuk-bungkuk. Lalu samar-samar, dari kejauhan dia melihat bayangan dari seseorang yang berjalan melawan arus kerumunan. Makin lama semakin dekat, dan tampaklah seorang pria setengah baya, memikul kayu besar dipundaknya, berjalan perlahan, terbungkuk-bungkuk, dan dengan langkah setengah menyeret.
“Siapa laki-laki itu? Sedang apa dia? Mengapa dia malah berjalan kearah kota? Apa yang dipikulnya? “ Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Petrus. Lalu Laki-Laki itu pun semakin dekat, tetapi kenapa tidak ada orang yang memperhatikan Nya? Kenapa seakan hanya Petrus yang melihat Dia? Tak lama kemudian, mereka pun berpapasan, dan Laki-Laki itu mengangkat wajahNya, penuh peluh dan kesedihan yang mendalam. San ketika mata mereka bertemu, Mata Orang itu menatap Petrus dengan sangat dalam, menusuk tajam, namun lembut penuh kasih. Petrus ingat mata itu, betapa seringnya dulu ia ditatap seperti itu. Petrus ingat pertama kali tatapan itu diikuti dengan ucapan indah, “ Mulai saat ini, engkau akan dipanggil KEFAS.” Dan saat-saat Guru nya berteriak kepadanya, “Enyahlah Engkau, Iblis!!”. Di kepala Petrus pun terngiang-ngiang kembali, ketika dia menyangkal sang Guru 3 kali, dan setelahnya mata Gurunya menatapnya dengan sangat dalam, ketika kemudian ayam berkokok 3 kali pula. Petrus juga tidak akan melupakan saat-saat Gurunya bertanya juga 3 kali, “Simon anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”, lalu dijawabnya pada kesempatan ketiga dengan menangis, dan setengah berbisik, engkau tahu Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mau mengasihimu..” dan sang Guru menjawab dengan sangat tegas, “Gembalakanlah doma-dombaKu!”
Dan saat ini, mata itu kembali menatapnya, dijalan keluar dari Roma, ketika Petrus yang sangat ketakutan, ingin meninggalkan kota, ingin meninggalkan banyak sekali orang Kristen, domba-domba Kristus, sendiri menghadapi aniaya.. Itu Guru… Itu Yesus…
Petrus pun berbisik, yang ditengah gemuruh teriakan dan langkah kaki orang-orang dikerumunan, mungkin tidak akan dapat didengar oleh siapapun, “Quo Vadis Domine? (Mau kemana, Tuhanku?)”
Dan bisikan yang hamper-hampir tak terdengar itu, dijawab oleh sang Guru, tepat kepada Petrus, “ Aku mau ke Roma, hendak disalibkan untuk yang kedua kali..”

Maka bergetarlah hati Petrus, orang tua itu pun tertunduk dan terjatuh bersujud, dengan airmata yang diikuti oleh tangis yang mengerang. Hatinya tersayat, dia begitu sedih dan kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri, yang setelah puluhan tahun melayani Kristus, namun sekarang berlari ketakutan, meninggalkan domba-domba Tuhannya, yang diamanatkan untuk dia gembalakan. Petrus tersadar, dengan kekuatan baru dia berdiri, melangkah kembali dengan sangat kokoh dan bersemangat, tetapi kali ini mengarah ke kota.. Dia sadar, melayani Kristus harus dengan satu tekad dan keberanian, sadar bahwa Tuhan beserta nya, dan menyelesaikan tugas dan panggilannya, walaupun nyawa taruhannya.

Kita tahu cerita selanjutnya, Petrus ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara. Karena dia pemimpin jemaat, maka Kaisar menunggu waktu yang tepat untuk menghukum mati dirinya, dan menggunakannya untuk menakut-nakuti jemaat Tuhan. Kemudian, pada tahun 67 Masehi, Kaisar Nero memutuskan untuk menghukum mati Petrus dengan menyalibkan dia, sama seperti Tuhannya dulu dihukum mati. Tujuan Nero adalah, kembali membunuh kekristenan diatas kayu salib. Ketika hendak disalibkan, Petrus meminta agar mereka menyalibkannya terbalik, dengan kaki diatas, dan kepala dibawah. Itu karena Petrus merasa bahwa dirinya tidak layak untuk menerima ‘penghormatan’ yang sama seperti Gurunya. Maka sesuai dengan permintaannya, Petrus pun menemui ajalnya (sekaligus menemui Gurunya) dengan disalib secara terbalik.

Bagaimana dengan para jemaat? Bukan nya surut, malah orang-orang Kristen di Roma dan di seluruh dunia, yang mendengar kabar kematian Petrus dan keberaniannya, disulut kembali imannya dan semakin berkobar-kobar. Sama seperti Petrus (sang batu karang), mereka pun semakin berapi-api untuk bersaksi tentang Kristus, dan melayani sang Raja dengan mempersembahkan seluruh hidupnya.

Kisah Petrus ini memberi kita inspirasi, bahwa mengasihi Yesus, artinya adalah bahwa kita siap untuk melayani DIA sehabis-habisnya dengan memberi diri kita untuk memimpin orang lain mengenal dan memuliakan namaNYA!!
SOLI DEO GLORI

Tidak ada komentar: