Kamis, 08 April 2010

Runtuhnya Selubung Sandiwara

Sunday, September 27, 2009 at 8:48pm

Katanya, dunia ini panggung sandiwara, dan kita inilah pemain-pemainnya. Betul, kita memang sedang bermain sandiwara. Sandiwara yang lebih lucu dari opera van java, lebih menyedihkan ketimbang kisah kisah Siti Nurbaya, lebih menyebalkan dari si JengKelin, dan lebih ironis dibanding sinetron Cinta Fitri.

Kita tidak begitu menyukai kisah sederhana, yang lurus dan tulus seperti mini seri JOJO atau Satu Kakak Tujuh Ponakan. Lebih berbelit-belit seperti Tersanjung, lebih tinggi ratingnya. Orang-orang mengutuk, memaki, tapi anehnya dengan muka serius masih setia mematung di TV, untuk mengetahui bagaimana episode selanjutnya memimpin dia marah-marah dan nonjok-nonjok layar kaca. Aneh..

Apa yang ingin saya bahas?

Perilaku bersandiwara itu, turun dan mewabah di hidup sehari-hari. Keseharian kita bahkan lebih seru dari sinetron. Saya tertawa terbahak-bahak melihat aksi MAnohara di sinetron yang judulnya sami mawon. Mimik wajah, ekspresi menangis, dan gerak-gerik bibir-mata nya; benar-benar sama dengan ketika dia wara-wiri di TV, seakan mengadukan nasibnya kepada seluruh masyarakat. Di sinetron, jelas sedang bersandiwara, menangis dengan konflik yang tidak riil, hanya lakon semata. Bagaimana dengan wawancara di tv? Mana yang sandiwara, mana yang nyata, tidak ada bedanya. Dibanding ketika melihat wawancara dan film yang bintangi Denzel Washington, atau Dedy Mizwar, misalnya.

Seperti yang saya katakan di atas, perilaku bersandiwara itu,sudah turun dan mewabah di hidup sehari-hari. Kita temukan banyak sekali kisah sandiwara setiap hari. Tentang 2 org sahabat yang sepertinya baik2 saja, namun saling memaki di belakang masing-masing. Tentang seorang ibu rumah tangga yang innocent, namun kedapatan selingkuh dengan tetangganya yang masih SMP. Atau tentang seorang rohaniawan yang berbicara tentang integritas, namun menabrak lampu merah.

Sebenarnya, apa sih yang kita cari dari hidup? Kesan baik dari orang tentang diri kita? Saya temukan, lebih banyak manusia yang senang menerima pujian selangit yang penuh kebohongan, daripada sedikit kritik yang jujur. Demi pujian selangit yang berpotensi mematikan itu, banyak manusia yang berlagak dewasa, sopan, baik, pintar-tau segalanya-, pokoknya segala yang baik-baik. Topengnya ada belasan, tergantung occasion. Tak ada pergumulan untuk berjuang menjad ilebih baik, eh begitu masuk dalam komunitas rohani, seorang bejat tiba-tiba menjadi malaikat. Saya jadi malu sendiri, sudah bertahun-tahun melayani, masih bergumul untuk mengmas kritik menjadi lebih baik. Masih bergumul untuk mengubah kemalasan, masih bergumul untuk memperbaiki 'face control' waktu lagi ga suka pada seseorang, ah.. banyak pergumulan-pergumulan yang lain.

Maksud saya, betapa indahnya jika selubung sandiwara kita dibuka semua. Kelihatan jelek-jeleknya, dan ga lagi mengejar kesan baik dari semua orang terhadap diri. Saya jadi teringat, di persekutuan para hamba Tuhan beberapa hari yang lalu, saya menggambarkan bagaimana kekeras kepala-an saya dibetulkan oleh 'ketegasan' pimpinan saya dengan kalimat: "Ketika si keras kepala Taor berbenturan dengan sang keras kepala Nus, barulah.." semua orang yang hadir terdiam. Mungkin mereka setengah tak percaya, betapa kurang ajarnya anak muda satu ini, mengatai pimpinannya dengan sebutan 'keras kepala'. Tetapi saya mau jujur. Saya tidak mau berbelit-belit untuk sekedar mencari kata-kata yang lebih halus, dan memberikan kesan baik, yang akhirnya mengurangi esensi dari perkataan saya. Saya sungguh2 mau bilang, bahwa menurut saya, pimpinan saya sama keras kepalanya dengan saya, dan ternyata keras kepala lebih berguna dan mengubah saya.

Bukan berarti saya menganjurkan kita berbicara kasar. Namun bicaralah seadanya, seperti yang semestinya, setidaknya tepat seperti apa yang ada di dalam hati anda. AGAr, jika seandainya pun salah, bisa kelihatan, dan lantas cepat diperbaiki. Daripada disimpan-simpan, demi sebuah kesan baik yang basi...

Tidak ada komentar: