Kamis, 08 April 2010

SALIB RASA JERUK


Dulu, salah satu ritual paling tidak mengenakkan sebelum berangkat ke sekolah adalah meneguk 2 sendok makan 'scott emulsion'. Tapi, di keluarga Siahaan itu adalah suatu keharusan, tak peduli betapa memuakkannya rasa minyak ikat kod itu di dalam mulut. Mama dengan rajin dan teliti memerikasa satu persatu bau mulut kami. Tak ada yang bisa lolos dari penderitaan rutin itu. Meski mama selalu memulai ritual itu dengan celotehan betapa berkhasiatnya minyak ikan Kod dalam membantu pertumbuhan kami, tetap saja, 'OGAH!!'. Saya masih ingat dengan jelas, betapa usaha-usaha saya untuk melewatkan ritual itu kerap berhasil.Entah dengan mengoleskan sedikit 'cairan busuk' itu ke bibir untuk lolos dari pos pemeriksaan, atau dengan minum susu. Beberapa aksi saya tertangkap basah oleh adik bungsu saya, dan si 'kuncung' itu berusaha menakut-nakuti saya dengan, "AWAS BANG! Nanti abang pendek mirip si BAgong." Ingin rasanya menjewer telinganya 360 derajat, apalagi kelihatannya ancaman anak kecil itu setengah terjadi. Tapi apa iya, badan saya pendek begini karena dulu bandel, tidak meneguk minyak ikan busuk itu?

Pengalaman dengan minyak ikan berkhasiat tapi rasanya 'astagfirullah', membuat saya menjadi teramat yakin peribahasa lama " Obat mujarab, pahit rasanya". Benar juga, duluada semacam pengertian dikeluarga saya, bahwa segala yang pahit pasti ada khasiatnya. Daun pepaya, mengkudu, sampai pucuk daun jambu. Tapi saya tidak sedang mendalami tentang apakah semua obat harus pahit. Dulu, ketika bodrexin berjaya, bahkn anak-anak yang tidak demam pun mengemutnya seperti permen. Rasanya yang enak membuat kesan bahwa itu 'obat' menjadi hilang, dan anak-anak suka. Kemudian mulai muncul produk-produk baru yang mengakomodasi kesukaan anak-anak itu. Ada pasta gigi rasa jeruk, strawberry, ada berbagai jenis obat berbentuk 'syrup' dengan rasa yang bermacam-masam. bahkan ada Scott Emulsion rasa jeruk (kenapa tidak dari dulu??)

Mengapa saya membahas ini?

Singkat saja. Manusia jaman sekarang tumbuh dengan slogan "kalau bisa enak, kenapa harus sakit?". Semua serba canggih, tekniologi mengantarkan kita semua ke suatu kondisi dimana setiap orang hanya bersiap untuk satu situasi: "Bahagia-enak-gampang". Pada jaman ini tidak ada lagi yang au pusing-pusing memikirkan tentang 'penderitaan'. 'Memikul salib' sudah berubah makna dan menjadi rancu dengan 'sukacita melayani'. Setiap orang akan engan senang hati memakai kalung salib, tanpa memahami maknanya, persis seperti seorang anak yang mengunyah bodrexin walaupun tidak demam. Gereja-gereja pun sudah mulai menawarkan 'berbagai macam berkat' ganti penderitaan, yang menjadi panggilan sejati kekristenan. SAya benar-benar pusing dengan kenyataan sekarang. Semua orang ingin 'penderitaan yang enak'; 'pergumulan yang menyenangkan'; dan 'ajaran-ajaran yang meninabobokan'.

Ah, mungkin ini gejala ditemukannya obat baru dalam kekristenan: SALIB RASA JERUK!
Mau coba?

Tidak ada komentar: