Pengalaman dengan minyak ikan berkhasiat tapi rasanya 'astagfirullah', membuat saya menjadi teramat yakin peribahasa lama " Obat mujarab, pahit rasanya". Benar juga, duluada semacam pengertian dikeluarga saya, bahwa segala yang pahit pasti ada khasiatnya. Daun pepaya, mengkudu, sampai pucuk daun jambu. Tapi saya tidak sedang mendalami tentang apakah semua obat harus pahit. Dulu, ketika bodrexin berjaya, bahkn anak-anak yang tidak demam pun mengemutnya seperti permen. Rasanya yang enak membuat kesan bahwa itu 'obat' menjadi hilang, dan anak-anak suka. Kemudian mulai muncul produk-produk baru yang mengakomodasi kesukaan anak-anak itu. Ada pasta gigi rasa jeruk, strawberry, ada berbagai jenis obat berbentuk 'syrup' dengan rasa yang bermacam-masam. bahkan ada Scott Emulsion rasa jeruk (kenapa tidak dari dulu??)
Mengapa saya membahas ini?
Singkat saja. Manusia jaman sekarang tumbuh dengan slogan "kalau bisa enak, kenapa harus sakit?". Semua serba canggih, tekniologi mengantarkan kita semua ke suatu kondisi dimana setiap orang hanya bersiap untuk satu situasi: "Bahagia-enak-gampang". Pada jaman ini tidak ada lagi yang au pusing-pusing memikirkan tentang 'penderitaan'. 'Memikul salib' sudah berubah makna dan menjadi rancu dengan 'sukacita melayani'. Setiap orang akan engan senang hati memakai kalung salib, tanpa memahami maknanya, persis seperti seorang anak yang mengunyah bodrexin walaupun tidak demam. Gereja-gereja pun sudah mulai menawarkan 'berbagai macam berkat' ganti penderitaan, yang menjadi panggilan sejati kekristenan. SAya benar-benar pusing dengan kenyataan sekarang. Semua orang ingin 'penderitaan yang enak'; 'pergumulan yang menyenangkan'; dan 'ajaran-ajaran yang meninabobokan'.
Ah, mungkin ini gejala ditemukannya obat baru dalam kekristenan: SALIB RASA JERUK!
Mau coba?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar