Kamis, 08 April 2010

SELAMAT JALAN, RABBI!!


Tidak ada tokoh bangsa ini sejak reformasi yang saya hargai sebesar penghargaan saya kepada Gus Dur. Bukan karena sifat bangsa kita yang mengeluarkan sekeranjang pujian kepada seseorang yang baru meninggal, namun memang bagi saya, Gus Dur adalah BApak Bangsa; bukan sekedar BApak Pluralisme atau Bapak Multikulturalisme. Menitik air mata saya mengenang segala kekaguman saya akan Gus Dur, termasuk lelucon-lelucon dan responnya untuk setiap pertanyaan yang membuat saya geleng-geleng kepala dan tertawa terbahak-bahak. Tidak biasa, tidak juga 'jaga image', begitu jujur, dan sederhana. BAgi Gus Dur, Politik, kekuasaan, dan agama bukanlah hal yang teramat rumit, dengan bahasa dan istilah barat, dan penjelasan yang lebih membingungkan dibanding pertanyaan awalnya. Mendengar Gus Dur tertawa, juga adalah kesempatan langka. Perkataannya yang kita respon dengan terbahak-bahak, dilontarkannya dengan serius. JArgon "gitu aja kog repot" adalah kata hati, bukan plesetan atau untuk lucu-lucuan. Gus Dur agaknya telah menjadi jawaban yang pas atas 'kebodohan dan kesederhanaan' bangsanya. Pemimpin yang bijak memang datang bersama jawaban yang sesederhana dan se aplikatif mungkin. Bukan menjadi satu-satunya orang yang (sok) pintar diantara sekian orang yang terbelalak dan mengangguk-angguk. Bertahun-tahun saya pelajari nilai sakral ini dari seorang Gus Dur. Pleidoi Gus Dur atas segala kontroversi dan pertanyaan atas keberadaannya adalah ketulusan, kejujuran, dan kesederhanaan yang tepancar. Sempat saya tidak yakin dan marah-marah ketika melihat Gus Dur muncul dengan celana pendek di teras istana, pasca impeachment MPR. Belakangan saya baru tahu, itu inisiatif Sang Dur, bukan akal-akalan siapapun untuk menjatuhkan citranya.

Saya pengamat Gus Dur sejak dia hampir naik ke atas meja pada hari pelantikannya menjadi Presiden. Sejak itu, politik bagi saya menjadi lebih bergairah, dan menjadi salah satu motivasi saya memilih politik sebagai ladang saya setelah menyelesaikan SMU. Bagi saya sejak awal, adalah lelucon terbaik Indonesia menjadikan Gus Dur Preseiden. Tetapi, itulah Gus Dur; lelucon itu ditanggapi dan dijalankan serius. Kelemahan dan kondisi-kondisi tidak menguntungkan yang menjadikannya bahan tertawaan diubahnya menjadi kekuatan. Dan, orang-orang yang mengangkatnya melakukan kesalahan yang lebih besar dari tindakan awal mereka: menurunkan Gus Dur dengan kasus yang sampai kini tidak selesai dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Begitulah Gus Dur, tidak pernah berhenti memilih jalan yang berbeda dari kebanyakan orang: Menjadi diri sendiri. Banyak orang mengingkari dirinya dan membangun citra yang baik demi untuk mendapat pengakuan orang. Gus Dur tidak. Dia berada di berbagai tempat sebagai Gus Dur. Dia berbicara dan bertindak sebagai dirinya sendiri. Heran kepada fakta bahwa penganiayaan terhadap penganut agama minoritas justru meningkat tatkala pribadi pluralis sepertinya memimpin negeri ini. Menjadi jawaban bagi saya, bahwa seorang Gus Dur sekalipun tidak cukup mengubah negeri ini.

Judul catatan ini sengaja saya titipkan, mengingatkan saya akan keterbukaan hidup seorang Gus Dur kepada perbedaan. Bagi Gus Dur, siapapun adalah kawan, dan siapapun bisa menjadi lawan. Mengingat Yahudi dan ke-yahudi-an adalah haram bagi sekelompok orang di negeri ini, saya geleng-geleng kepala dan merinding mendengar seorang wali negeri menyuarakan pentingnya membuka hubungan diplomasi dengan ISrael. Bagi saya, itu puncak ke-agung-an Gus Dur. Baginya, bahkan seorang Yahudi pun, layak diberi kesempatan. Dan tentu, beliau takkan marah jika saya panggil, RAbbi Dur!

Selamat jalan, Rabbi! Tak perlu ada lagi yang sepertimu, cukup satu Dur yang pernah dimiliki bangsa ini. Satu Dur saja, sudah membuat kami kelimpungan, apalagi dua, tiga; seribu, sejuta, Jangan!! Doaku hanya: semoga Indonesia melahirkan Gus yang lain, Bang yang lain, Mas yang lain, Aa yang lain, Lae yang lain, Koko yang lain; dan harapanku, Bang Taor bisa menjadi alternatif yang berbeda; Lae Bachrul juga bisa; Ko Andreas siapa tahu, Tulang Paul pun punya peluang..
Siapa tahu, hiruk pikuk di Jombang, tahlilan di Tebu Ireng, suatu hari nanti bisa berpindah ke Siantar, dan kidung pujian-pujian bagi NYA dari gereja HKBP Jetun diperdengarkan oleh seluruh stasiun televisi..

Tidak ada komentar: