Kamis, 08 April 2010

Antara Black Coffee dan Brown Coffee; Antara Yerry Makarawung dan Taor Geovanny





Beberapa hari yang lalu, saya bernostalgia dengan bapak rohani saya ketika mahasiswa, Yerry Makarawung. Wah, saya dan istri menikmati betul pertemuan itu. Istri yang tadinya ngidam Pizza, kelihatannya lebih menikmati obrolan kami disbanding potongan pizza yang tersaji. Sembilan tahun tak bertemu, tidak membuat hal-hal indah yang dulu kami alami berubah menjadi rasa canggung. Hanya setahun bang Yerry melayani menjadi staf LPMi di UNPAD Jatinangor, setahun pula saya dan dua orang saudara rohani saya (Chandra Panangian MAnalu dan John Franky Audermansen Imanuel Sinaga) menikmati hidup di bawah pengaruh rohani dan teladan hidup nya. Hanya setahun, tetapi menjadi tahun penuh makna dan kenangan, kemudian bang Yerry pergi tanpa memberitahu kabar apapun pada kami. Kemarin dia bercerita, hanya untuk menjaga semangat yang sedang menyala-nyala di dalam diri pemimpin baru seperti kami, dia pergi tanpa pernah bercerita alas an apa yang melatari keputusannya.

Senin kemarin kami bertemu lagi, tanpa kecanggungan. Saya bercerita bagaimana hidupnya begitu menginspirasi saya, menginspirasi kami. Saya bercerita betapa saya menganggap dia sebagai staf kampus terbaik yang pernah dimiliki LPMI (setidaknya selama saya kenal LPMI sejak tahun 2000). Dialah staf yang mempraktekkan benar-benar apa yang didapatkannya selama belajar di Pusat Latihan Amanat Agung LPMI. Kami melihatnya di kampus setiap hari, kecuali senin pagi dan kamis pagi. Tidak seperti kebanyakan staf sekarang, yang berkoar-koar sedang membangun gerakan tanpa pernah tahu di mana letak toilet di kampus yang mereka layani. Bang Yerry menyapa mahasiswa, PA, PI, sharing visi, berdoa keliling, dan melakukan kgiatan-kegiatan lain yang ketika itu belum saya mengerti, namun telah pula menjadi bagian hidup saya sekarang. Bang Yerry menghabiskan banyak waktu untuk membaca, persiapan PA, WM, dan rapat-rapat kecil yang kami lakukan. Baru kemarin dia memberitahu alasannya. “Kalian bertiga kritis, mempertanyakan segala-galanya.” Dia pun memasak bagi kami, traktir makan kalau bertemu di kampus. Bagian kami hanya cuci piring (sebenarnya, John mengambil alih pekerjaan ini, karena hobi katanya). Pernah suatu kali, saya seminggu berturut-turut tidak pernah dating ke sekretariat. Chandra berulang kali bilang, Bang Yerry mencari-cari. Hp belum lazim pada waktu itu. Saya terkejut sekali, selesai kuliah menemukan dia ada di depan kampus, tersenyum dan bilang sengaja ingin bertemu. Lalu kami berjalan menuju gerbang kampus, “Kita makan di Doa MAnde, or! Saya traktir.” Aura mahasiswa saya tak bisa menolak, maka kami pun menuju kesana. “Silahkan ambil dulu, or! Abang ke toilet dulu.” Saya pun mengambil sepiring ayam dengan sepotong nasi. Sampai di meja, sudah ada es the manis, tapi bang Yerry belum juga memesan makanan. “Saya belum lapar, Taor saja!” Saya jadi merasa tidak enak, tetapi tetap memakan piring (nasi dipiring, -tagesi) saya. Lalu pembicaraan menjurus ke hal-hal lain seputar kuliah dan keluarga. Di akhir, dia baru minta saya untuk dating lagi, ikut Wm dan PA. Sogokannya manjur, apalagi waktu Chandra (yang memang tinggal dengan bang Yerry di sekre, maklum kere, he-he.) membuka rahasia, “Or, BAng Yerry lagi ga punya uang loh, eh malah nraktir kau.” Dasar Chandra, sengaja membuat aku ga enak hati sampai ingin memuntahkan kembali makanan itu. He-he lagi. Memang, bang Yerry menghabiskan hamper seluruh dana pelayanannya untuk kami, lupa bahwa ada pacar yang harus cepat-cepat dinikahi.

Kemarin saya mengeluh kepada bang Yerry, yang selama melayani di LPMI hanya focus kepada 7 mahasiswa (3 di UNJ, 4 di UNPAD), namun hidupnya berbuah. Semua anak rohaninya benar-benar terinspirasi atas pelayanannya, hamper semuanya berhasil menjadi pemimpin dimana-mana (minus saya). Sementara saya elah melayani lebih banyak sepanjang 4 tahun ini, dan tidak ragu untuk bilang, saya pun sungguh-sungguh, saya memberi apa yang saya punya untuk mahasiswa, anak-anak rohani saya. Tetapi belum pernah saya menemukan mahasiswa yang begitu ‘excited’; seperti saya terhadap bang Yerry. Saya merenung di rumah, terngiang kalimat bang Yerry menguatkan saya senin lalu,
“Mungkin yang membedakan kita Cuma temperamen saja, Taor. Jangan menyerah!”
Memang kami begitu berbeda, kalau mencoba membandingkan kami berdua, seperti ‘brown coffee’ dan ‘black coffee’. Bang Yerry yang coklat, aku yang hitam. Brown coffee diminum untuk bersantai, kadang dalam bentuk three in one, plus susu dan gula. Benar-benar disukai, memberikan pengaruh sedikit demi sedikit. Brown coffee (apalagi cappuccino) bahkan bisa diminum bergelas-gelas setiap hari. Sensasi yang diberikannya benar-benar indah, apalagi dalam suasana dingin, hujan. Benar-benar menambah akrab dan hangat suasana. Inspirasi brown coffee bahkan membuat pena penulis menari-nari, membangkitkan potensi.

Bagaimana dengan black coffee? Penikmatnya jarang, saya pun bukan salah satunya. Rasanya yang pahit, sebanding dengan kehitamannya yang pekat. Saya pernah menikmati coffee latte di salah satu cafĂ© did ago. Pagi-pagi, sambil ber- hot spot ria, saya asal pesan saja. Padahal pelayannya sudah memperingatkan. Alhasil hadirlah kopi dengan cangkir maha kecil yang Cuma terisi setengah. Pahit minta ampun, semua saraf di kepala saya seperti menegang. Katanya itu biangnya kopi, diminum sedikit-sedikit. Saya teringat pada ‘oppung doli’ yang menghabiskan kopi pahit yang dibuat pagi hari, baru pada sore hari. Tapi dampaknya, itu tadi: ‘KESADARAN TOTAL’. Secangkir kopi pahit akan memuluskan selesainya pekerjaan satpam jaga malam.

Saya memang lebih suka menjadi brown coffee; cappuccino. Tapi, sepertinya saya harus tahu diri, saya ini black coffee; kopi pahit. Saya masih berharap beberapa tahun kedepan akan bertemu kembali dengan anak-anak rohani saya yang menyambut saya dengan antusias, senyum, dan pengakuan betapa hidupnya berubah karena pekerjaan Yuhan melalui pelayanan saya sewaktu dia kuliah dahulu. Tetapi seandainya itu tidak terjadi pun, saya harus mengucap syukur atas beberapa syaraf kendur yang kemudian menegang; atas otak tumpul yang menjadi tajam; atas KESADARAN TOTAL yang mereka alami.

Kutuk “menjadi berguna, cukuplah!” kelihatannya akan menjadi salib yang harus saya pikul tiap-tiap hari.

TERIMA KASIH BANG YERRY, TERIMA KASIH SUDAH MENJADI ‘BROWN COFFEE’ BAGI KAMI!


--TAGESI

Tidak ada komentar: