Kamis, 08 April 2010

Tangisan Putera Nusantara


Ada apa dengan Indonesia? Ketika kubaca buku ’30 Tahun Indonesia Merdeka’, tidak bisa tidak, aku bergidik gemetar. Indonesiaku direbut oleh pejuang-pejuang berhati baja, Indonesiaku dipenuhi pecinta-pecinta tanah air yang tulus, rela mati untuk bangsanya. Pemimpin-pemimpin yang optimis akan masa kebangkitan nusantara.

Banyak kisah yang mencolok, yang mengharu biru akan patriotisme anak-anak bangsa, yang bangga mencium Sang Saka Merah Putih, dan meneriakkan ‘Indonesia merdeka!’. Negara ini berdiri bukan dengan mimpi semata-mata. Negara ini menegakkan citra diri, bukan di atas tangan peminta-minta. Negara ini ‘pernah’ memiliki seribu anak bangsa, sejuta putera Nusantara, yang mengorbankan nyawa, menepiskan cita-cita, dan membulatkan asa demi satu pekikan ‘Merdeka’! Negara ini tidak kekurangan pejuang, dalam segala bidang, yang mematrikan namanya di puncak-puncak tertinggi, mengisi kemerdekaan dengan prestasi, demi berkumandangnya Indonesia Raya di mana-mana. Negara ini bangga memiliki pemimpin-pemimpin yang membayar pembangunan dengan keringatnya, menebus kepercayaan rakyat dengan darahnya. Pemimpin-pemimpin yang tertawa dan menangis bersama-sama bangsanya.

Tetapi itu tinggal kenangan saja.. Setiap hari, kini yang kita lihat hanya rebutan kekuasaan elit-elit berdasi dan bermobil mewah. Jargon-jargon Merdeka masih diteriakkan, ‘rumah rakyat’ masih didoktrinkan, dan semboyan padamu negeri masih dikumandangkan; sambil tersenyum sinis, sambil saling memaki, sambil sibuk memantau bisnis pribadi, sambil menghitung-hitung langkah untuk berkelit dan berdalih, sambil memamah hak-hak rakyat yang menjalani langkah-langkah hidupnya dengan tertatih-tatih.

Aku tersentak melihat preman yang bertarung memenangkan PILKADA. Menangis melihat langkah-langkah mereka yang tiba-tiba menjadi religius, mengunjungi masjid demi masjid; gereja demi gereja; vihara demi vihara. Menawarkan kemudahan, menawarkan rencana-rencana kolusi, menawarkan bagi-bagi rejeki, menawarkan keamanan menyembah ALLAH tanpa celurit di leher. Dan anehnya, mereka mengangguk-angguk. Mereka, jamaah yang tertipu, mengangguk-angguk. Tak sadar bahwa dirinya telah dijadikan dagelan politik. Memilukan.

Kita seolah-olah hidup di pasar ikan. Tidak ada yang mencium bau busuk, semua menghirupnya seolah wewangian surga. Terbiasa di tengah-tengah kebusukan, sehingga tidak menyadari bau yang menyengat hidung. Terbiasa mendengar bencana demi bencana; terbiasa dengan perkara korupsi, terbiasa dibohongi abdi negeri; terbiasa dengan seluruh ketidak-adilan; terbiasa melihat nyawa manusia melayang begitu saja, tanpa makna tanpa arti. Kita tidak menyadari, bahwa bau itu telah sedemikian busuk; kita tidak menyadari bahwa Tuhan sedang berteriak-teriak menyerukan pertobatan; kita tertidur, menganggap tangisanNYA sebagai musik yang meninabobokan. Aceh, Nias, Jogja, Nabire, Alor, Ambon, Pangandaran, Tasikmalaya, dan terakhir Padang, semuanya mungkin adalah teguranNYA, bagi bangsa yang dikasihiNYA, bagi NINIVEH di Samudera Hindia. Mari kembali kepada fitrah kita: sebagai pelayanNYA!

PS: Aku tahu, masih banyak patriot-patriot bangsa di segala suku bangsa, di segala bidang profesi, yang berjuang sendiri-sendiri, hampir-hampir ditenggelamkan oleh keputusasaan.. Mari, tetap bersemangat! Kita tidak sendiri, masih ada ribuan orang yang Tuhan tinggalkan di seluruh negeri, yang hatinya tidak menyembah ‘baal’, yang tidak condong pada kekuasaan, yang berjuang untuk kebangkitan pertiwi.. Mari berjuang bersama-sama, ini tanah air kita, tanah tumpah darah, Nusantara tercinta!

Tidak ada komentar: