Kamis, 27 Maret 2008

Rame-Rame Positiv

Membaca kebanyakan buku-buku atau artikel-artikel motivasi saat ini seperti mendengar seorang kakek mendongeng pada cucunya. Ceritanya itu-itu saja, ceramahnya mengandalkan permainan kata-kata, kemampuan bersilat lidah, dangkal, tanpa bobot. Ada yang mengisahkan dongeng kancil mencari ketimun, dengan sejumput perubahan, lalu diakhiri dengan ‘kalimat motivasi’ :

“Nah saudara-saudara, jikalau kita masih mempunyai tangan dan kaki, hendaknya kita jauhkan pikiran-pikiran untuk mencuri dari benak kita! Jadilah manusia yang bertanggung jawab, dengan bekerja untuk kesuksesan sendiri!”

Lalu diakhiri dengan ‘Salam sukses luar biasa!’

That’s it!

Saya sangat tidak mengerti, mengapa banyak pembaca yang mengaku termotivasi, terinspirasi, bahkan meraih sukses kilat setelah membaca tulisan itu. Ada-ada saja. Maka tidak heran banyak sekali muncul penulis-penulis dadakan (Maaf!) yang merasa mampu menulis dan memotivasi orang lain dengan tulisan sejenis, cukup mengandalkan dan mengulangi frasa-frasa wajib seperti, ‘KAMU BISA!’;

‘Sukses dimulai dari berpikir dan meyakini bahwa kamu TELAH SUKSES, TELAH MENDAPATKAN apa yang kamu mau.’

‘Tidak ada yang namanya kegagalan! Yang benar adalah BELUM BERHASIL atau MENUJU BERHASIL!’

‘Selalu berpikir POSITIF! Ambil POSITIF nya! Jangan mau, tetap tersenyum, BERGEMBIRA!’

‘POSITIF THINKING is everything!’

Kalimat-kalimat wajib ini kemudian dibumbui dengan beberapa cerita, ilustrasi, pengalaman-pengalaman sukses, dengan permainan kata-kata yang tentunya dipaksa menarik. Lalu mengapa berhasil? Karena quotes yang ada biasanya menjanjikan kesuksesan kilat, secepat membaca bukunya, (dikatakan) ditulis oleh motivator handal, ulung, nomer satu. Dan tentu saja, banyak orang mencari SUKSES, dan kalau bisa kilat, cepat, tanpa sekolah, tanpa modal. Dan hebatnya, cara-cara yang ditempuh justru ‘menyenangkan’, nyaman, menghilangkan ketakutan, penderitaan, dan menjauhi apa saja yang sepertinya memberikan tekanan, ketegangan.

“Awas, kuasa perkataan!”, begitu biasanya beberapa orang menakut-nakuti.

Lalu apa yang salah?

Entah bagaimana tanggapan anda, tetapi saya melihat ada akibat buruk yang ditawarkan oleh tulisan-tulisan dan bahkan pidato-pidato seperti ini. Yang ditawarkan adalah sukses yang sudah jelas definisinya. Yaitu sukses yang digambarkan dengan kepemilikan akan sejumlah besar uang, posisi tinggi di pekerjaan atau bisnis dengan prospek menggiurkan, pengakuan sosial, dan (pula) tidak ketinggalan prestise sebagai seorang religius nan dermawan. Padahal definisi sukses demikian adalah definisi sukses dengan nilai terrendah, dangkal, dan memuakkan. Sukses yang justru menempatkan setiap usaha sebagai investasi bagi impian akan kemapanan. Nilai dari tiap-tiap tindakan yang memerlukan energi dikuantifikasi dengan level pencapaian secara materi, pangkat, kedudukan sosial, dan simbol-simbol kemapanan lain. Bukankah semua ini membuktikan bahwa orang seperti ini justru sedang ‘diperkosa’ oleh dirinya sendiri, diperbudak oleh mimpi-mimpinya, dan dipermainkan oleh suatu kebutuhan akan pengakuan terhadap eksistensi diri. Nilai-nilai, norma-norma, pengetahuan, keterampilan, hubungan sosial, dan apa saja yang ada, akan dipandang sebagai alat pencapaian tujuan, yaitu kesuksesan dengan definisi seperti diatas. Belajar bukan untuk menjadi bijak dalam menyikapi kehidupan, tetapi supaya kaya, tersenyum bukan untuk memberkati orang lain, tetapi agar mood hari ini tidak rusak, sehingga energi buruk tidak terpancar, dan rejeki tidak terhalang. Beramah-tamah dengan orang lain bukan untuk menikmati kebersamaan, melainkan sebagai persiapan jika kelak membutuhkan bantuan orang tersebut dalam pencapaian tujuan. Semuanya dikonversikan dengan sukses, seperti paman Gober saja.

Beralih pada masalah lain, motivasi populer selalu berfokus pada ‘memandang segala sesuatu dari sudut positif’. Dengan kacamata seperti ini, setiap penganut paham positiv akan dimampukan untuk selalu gembira, optimis, dan cenderung irrasional. Mereka ber-apologia bahwa ‘hati yang gembira adalah obat yang manjur, tapi semangat yang patah mengeringkan tulang’. Seolah-olah mengada-adakan kegembiraan adalah halal, dan semua kesedihan adalah lambang semangat yang patah. Padahal kalau diperhatikan lebih dalam ungkapan tadi, hati yang gembira di bandingkan dengan semangat yang patah, bukan dengan kesedihan. Semangat yang patah, jelas merugikan, menghancurkan bahkan. Sehingga analogi yang tepat untuk ‘hati yang gembira’ adalah suatu iman yang diletakkan pada Dasar yang kuat sehingga, seburuk apapun kenyataan yang dihadapi, seberat apapun tantangan dan cobaan yang datang, sekeras apapun kita terjatuh, tetap saja selalu ada harapan, selalu ada jalan, dan kita selalu dimampukan untuk mengucap syukur, sehingga mengalirlah sukacita yang mengobati. Jelas bahwa obat mengindikasikan adanya luka, sakit, kesalahan, kekecewaan, dan itu bukan sesuatu yang harus diabaikan. Harus dinikmati dengan bersyukur dan penuh pengharapan, dan pengharapan yang benar selalu mendatangkan sukacita.

Menghadapi kenyataan yang ada sebagai ‘as it is’ saya kira sangat penting, seburuk dan segelap apapun itu. Hanya menerima hal-hal baik saja dan mengabaikan setiap kejadian dan suasana buruk jelas tidak akan memberikan kita hidup yang seutuhnya. Sudah jelas-jelas seseorang tidak membalas senyum kita, tetapi kita tetap bersandiwara dan menipu diri sendiri dengan berandai-andai mungkin dia tidak melihat kita. Mengapa tidak ditanyakan saja langsung ke-orangnya, dan menemukan fakta yang sebenarnya. Menganggap bahwa kegagalan adalah sukses yang tertunda adalah sama bodohnya. Gagal adalah gagal, berarti ada yang harus diperbaiki, harus belajar lebih banyak. Mempersempit arti kegagalan hanya sebagai sukses yang tertunda akan membuat kepekaan terhadap kelemahan diri semakin menipis. Dan pula, bagaimana kita bisa menikmati kegagalan sebagai sukses yang tertunda? Kegagalan adalah kegagalan, harus dinikmati sebagai kegagalan, harus disyukuri sebagai sebuah pembelajaran. Bukan sebagai sukses (yang tertunda) yang entah kapan datangnya. Menempatkan kegagalan sebagai sukses (yang tertunda) akan membuat kita senantiasa berorientasi pada kesuksesan, sehingga mensyukuri sebuah kegagalan adalah kemustahilan. Padahal, tugas utama manusia diberi ijin untuk hidup di dunia ini adalah untuk proses pembelajaran, pendewasaan. Bukan untuk mencapai berpuluh-puluh atau bahkan beribu-ribu kesuksesan untuk dibawa pulang sebagai bekal menuju kematian. Jika demikian, saya percaya, apabila Tuhan memakai kesuksesan untuk mengajar dan mendewasakan kita, maka dia pun mampu memakai kegagalan kita untuk fungsi yang sama.

Dengan mengetahui bahwa sukses bukanlah tujuan, maka berpikir positiv tidak lagi berarti apa-apa bagi saya. Yang saya kejar adalah ‘berpikir benar’. Kebenaran, yang terkadang menyakitkan, terkadang pahit, terkadang negativ, harus pula saya telan. Dan bila saya memiliki Dasar iman yang teguh, bila saya mampu mengucap syukur untuk semua itu, dan bila saya tetap berpengharapan, saya tetap bisa bersukacita. Karena baik sukses maupun gagal, baik menangis ataupun tertawa, baik terang ataupun gelap, baik hujan ataupun panas, semuanya adalah proses yang harus dinikmati dan dijalani untuk menjadi dewasa.

Bagaimana dengan kuasa perkataan? Saya sebenarnya bingung, bagaimana kebohongan ini dimulai. Benarkah kata-kata kita berkuasa? Benarkah memperkatakan hal-hal yang buaik akan mendatangkan hal-hal baik, dan memperkatakan hal-hal buruk mendatangkan hal-hal buruk? Dan itu semua karena kata-kata yang berkuasa?

Tersenyum-senyum juga dengan semua kesalah-kaprahan ini. Pertama-tama saya harus menegaskan bahwa berkata-kata tentang kebohongan itu dosa, jelas sekali. Jadi sebaik apapun perkataan kita, jika itu bohong, maka tetap saja : DOSA~!

“Aduh, cantik sekali kamu hari ini”

“Wah, hebat! Suaramu bagus!”

“Senang bertemu dengan anda!”

‘Tenang aja, kita pasti berhasil”

“Kamu berbakat loh jadi pencela nomer 1!”

“Sori ya, tapi kamu harus belajar lebih banyak nih untuk menjadi pemimpin acara!”

“Kita kelihatannya akan gagal. Lihat saja, sudah hampir dua bulan kepanitiaan belum juga terbentuk!”

Kalimat-kalimat diatas adalah kalimat biasa, yang pertama sekali harus dinilai dari jujur atau tidaknya, bukan dari menghibur atau tidak, menyemangati atau tidak. Dampak apa yang diharapkan dari suatu penghiburan atau dorongan yang lahir dari kebohongan? Tetapi sebaliknya, suatu kejujuran, betapa pun menyakitkan, akan membantu orang tersebut untuk berubah lebih baik lagi.

Kata-kata tidak berkuasa, tetapi kejujuran akan diperhitungkan sebagai sebuah kebenaran. Memang ada banyak premis yang mengatakan bahwa seorang anak yang dibesarkan dengan kata-kata positiv akan cenderung berkembang lebih baik secara mental. Betulkah demikian? Pasti ada kesalahan! Sangat tidak logis bahwa kebohongan-kebohongan, seberapa positiv dan kuatnya pun motivasi di dalamnya, akan memberikan pengaruh baik pada manusia. Jelas, bahwa orang tua yang mengedepankan kebenaran tidak akan memamahkan kata-kata atau kalimat-kalimat jahat kepada anaknya. Tetapi kebenaran, betapa buruknya pun itu, saya pikir akan di pakai oleh Allah untuk kebaikan. Ah, bagi saya seribu perkataan buruk tentang saya, akan mendorong saya untuk intospeksi diri, tidak lantas membuat saya menjadi seburuk apa yang dikatakan. Dan pula, sejuta pujian atau kalimat-kalimat indah yang dialamatkan pada saya seringkali membuat saya bodoh dan minim respon terhadap perubahan, untung dengan bijak saya memilih untuk mengabaikannya selepas menyunggingkan senyum atau mendesiskan ucapan terima kasih.

Itu sudah!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

bang taor...saya dwi (TI 2005)..beberapa kali denger kotbah abang di pmk itb.

soal postingan abang ni...
pernah baca "buku pintar mind map" atau "the secret" ga???
aku pikir itu semua juga menawarkan sesuatu yang bersifat "positive thinking"...
agak2 membingungkan memang bila dipadu padankan dengan ajaran kristiani yang aku terima.

kalo soal bicara jujur...hm...kita kan dikasih hikmat ya sama Tuhan untuk tau bicara hal benar di waktu yang benar di tempat yang benar kepada orang yang benar...

hehehheee...
sekedar menjalin persahabatan dengan abang...
salam kenal