Selasa, 11 Maret 2008

ANTARA CINTA DAN HOBI MENGUPIL

Kemarin ada seorang teman diskusi melemparkan topik menarik untuk dibahas. Tentang CINTA. Tapi tunggu dulu, ini sedikit lebih menarik, rada berbeda, bagi saya, unik (baca: aneh) juga. Awalnya sih konseling pribadi, tapi tak apalah saya bagikan. Toh dia mengijinkan, asal nama samarannya sedikit lebih keren dari yang dikoran-koran.

Masalahnya cukup rumit (setidaknya bagi dia), ceritanya teman saya ini punya kebiasaan buruk. Suka secara tidak sadar (maaf) mengorek hidungnya, justru saat sedang berbicara dengan orang lain. Parah memang, tapi di beberapa kesempatan penting dia selalu berusaha untuk behave, mati-matian menjaga kesadaran otaknya agar kebiasaan (saya ga cukup tega untuk bilang itu buruk, cuma kurang beradab kali ya,ha-ha) -nya tidak muncul. Kan malu juga, kalau di rapat kerja dengan atasannya misalkan, dia secara tiba-tiba dan begitu menikmati fokus terhadap hobi korek hidungnya. Wadow, bisa berabe urusannya. Intinya, kebiasaan itu sebenarnya bias diajak kompromi di saat genting. Tinggal mengaktifkan sensor saja, dan otaknya akan cepat-cepat mengingatkan dirinya untuk cepat-cepat mewaspadai gerakan mencurigakan telunjuk tangannya yang mulai mengarah ke hidung. Sejauh sensor itu ditanggapi dengan baik, dan rasa malu masih lebih besar dari melampiaskan nafsu sesaat untuk mengorek hidung, maka selesailah persoalan.

Awal Januari lalu, teman saya ini, sebut saja Poltak (Gimana, keren kan bro?) tampaknya tertarik dengan hobi lain, mengejar cinta. Seorang gadis yang dikenalnya di satu persekutuan pemuda, begitu menarik hatinya. Modal nekat dia menanyakan nama gadis itu, dan kemudian nomer hp. Eh, dasar lagi mujur, atau karena dia setengah mendesak, gadis itu memberikan. Semua terasa begitu lancar, pertemuan-pertemuan selanjutnya terjadi, tidak hanya di persekutuan pemuda itu lagi, tapi terkadang sudah berpindah ke tempat-tempat yang lebih ayik. Jadwal sms dan telpon pun sudah semakin tidak teratur, kapan saja. Mungkin sama-sama sudah punya resolusi tahun baru : bertekad mengakhiri ke-jomblo-an yang menyesakkan itu, SECEPATNYA!! Poltak cukup optimis, resolusinya akan tercapai tanpa menunggu lebih lama lagi. Satu dua kali mereka menikmati romantic dinner, lancar tanpa hambatan berarti. Merasa bahwa ada kecocokan, mereka pun mulai saling mendekat.

Memang ada beberapa karakter yang mereka akui saling bertolak belakang. Saya tahu persis betapa Poltak selalu memimpikan gadis berkacamata dan berambut lurus, panjang terurai. Namun penolakan yang jelas dan tegas telah diberikan sang gadis (selanjutnya sebut saja Reni), yang merasa bahwa rambut pendek dan lensa kontak (begitu bukan bahasa Indonesianya?) lebih sesuai dengan karakternya yang aktif. Belum lagi permintaan Reni untuk cepat-cepat menikah, sudah 27 katanya, itu pun harus di Jawa, bukan di Bona Pasogit. Apa kata Poltak? Bukan masalah, ego bisa dikesampingkan. Wuih, hebat! Bagaimana dengan Reni? Jelas dia pun setuju menerima Poltak apa ada nya. Padahal, Reni cukup bergumul dengan beberapa hal yang melekat pada diri Poltak. Kebatakannya, hidungnya yang pesek, pekerjaannya yang menuntut untuk selalu berpindah-pindah daerah, fakta bahwa sahabat Reni adalah mantan pacar Poltak, keluarga Poltak yang secara halus menunjukkan ketidaksukaan mereka, dan (yang paling penting) Poltak melupakan ulang tahunnya 9 Februari kemarin. Walaupun semuanya sering mebuat Reni pengen nangis, tapi toh Reni bisa menerima.

Dua puluh sembilan Februari lalu, Poltak menyatakan cintanya, Reni dengan mata berkaca-kaca tersentuh melihat Poltak berlutut, di antara orang-orang yang tak mereka kenal. Tanpa disangka-sangka, semuanya begitu rapi direncanakan Poltak. Hanya mungkin, pilihan tempatnya tidak begitu bijak, warung Bakso, ha-ha. Tapi Reni sudah terbius oleh suasana, kalau sudah begini, warung bakso pun akan seperti batu cinta di kawah putih, bukan persoalan penting. Perkenalan yang singkat pun tidak menjadi penghalang, dengan disaksikan abang tukang bakso dan orang-orang yang pura-pura tidak melihat padahal mungkin memasang telinga dengan fokus, Reni menganggukkan kepala. Dia pun mungkin sudah lupa apa pertanyaan Poltak, tapi yang dia pahami, suasana seperti ini hanya memerlukan satu anggukan kecil, tidak perlu penuh semangat nanti dikira mau banget, padahal memang iya.

Dan begitulah, Poltak pun resmi memacari Reni. Pertemuan-pertemuan selanjutnya terasa lebih cair, kata-kata sayang sudah mengalir bagai gerimis. Lirikan-lirikan tak diperlukan lagi, kalau mau pelototin sampai sore pun tak mengapa. Dari pihak Poltak, situasi begini membuat dia lebih menikmati tiap-tiap kebersamaan mereka. Rasa canggung bahkan sudah ngacir jauh, entah kemana. Naas bagi Poltak, peristiwa itu pun terjadilah. Lagi asyik-asyik ngobrolin masa depan, telunjuk Poltak mulai mengarah ke sasaran. Sensor otak sebenarnya sudah berkali-kali mengingatkan, tapi telunjuk itu tetap aja bernafsu untuk dengan gemasnya mengeluarkan sesuatu dari hidung Poltak, dan berhasil. Untuk beberapa detik, Poltak tidak menyadari bahwa ada seorang gadis yang terbengong-bengong marsitoltol (baca: tegak tak bergerak) melihat aksinya.

Dengan santai Poltak akhirnya bersuara, “Sori Ren, ga nyadar!

Tapi gadis itu tetap terdiam, tanpa huruf, dengan wajah setengah menangis setengah jijik, tak terdefinisikan.

“Ren, sori! Kebiasaan buruk. Masa gitu aja marah sih?”

Bukan film, bukan sinetron, bukan novel, bukan komik, Poltak mengaku itu terakhir kali dia berbicara dengan Reni sebagai pacar. Selanjutnya, berpuluh-puluh sms-nya pergi tanpa pernah kembali membawa balasan. Berpuluh-puluh missed call, dan pengejaran-pengejaran aneh, dan tanpa hasil. Baru kemarin, 10 Maret 2008 dia menerima sms, dari Reni. Senangnya bukan main, tapi hanya sesaat:

Km batak, ga mslh, aq trima.

Kluargamu ga se7, ga mslh, kita bjuang brsama.

Km bakal bpindah2, ga mslh, aq ikut.

Shbtqu maki2 aq, ga mslh, aq tahan.

Tp ngupil km blg KEBIASAAN,

Sori, aq jijik!!

Aq ga byk ngeluh kog ama Thn, aq bisa bljr syg ma sapa aj.

Aq cm pny 1 syrt aj utk pasangan hdp:

GA NGUPIL!!

Tak tahu lagi bagaimana menyimpulkan perasaan hati saya mendengar curahan hati Poltak, apalagi membaca sms Reni. Baru kali ini, benar-benar baru kali ini ada masalah cinta seperti ini saya hadapi. Hampir saja saya percaya terhadap kebenaran artikel yang pernah saya baca di ‘kilasan kawat dunia’ milik kompas, ada isteri yang mengugat cerai suaminya, karena tidak lagi tahan mendengar dengkuran setiap malam. Membuat si isteri lama tidak bisa tidur, dan akhirnya masuk rumah sakit. Walaupun tak habis pikir, tetapi saya bisa mengerti kesulitan Reni. Dia bukan gadis manja yang ingin segala sesuatunya sesempurna angan-angannya. Reni belajar menerima banyak sekali kekurangan, lebih dari pada apa yang saya bahas di atas. Tidak adil kalau kita dengan mudah menghakiminya sebagai pihak yang salah, untuk perkara ini. Siapa tahu, memang dia begitu terganggu, begitu jijik dengan tiap-tiap ‘proses mengupil’ yang diperhadapkan padanya. Apalagi oleh seseorang, yang akan menemaninya seumur hidup. Siapa tahu, melihat orang mengupil, membuat dia berada pada tingkat kejijikan stadium akhir, sehingga menghancurkan selera makannya untuk seminggu ke depan, atau bahkan hal buruk lain, yang benar-benar mengganggu eksistensinya sebagai mahluk hidup yang sehat jasmani dan rohani. Artinya, melihat orang mengupil benar-benar merusak ke-waras-an, dan kesehatan nya. Siapa tahu?! Coba berpikir netral, mungkin saja terjadi, kan?

Masalah satu-satunya adalah tidak ada toleransi dari Reni untuk mengupil dan itu sudah menjadi bagian dari habit, kebiasaan Poltak. Siapa yang harus mengalah di sini? Anda tahu susahnya mengubah kebiasaan bukan? Saya sudah beruaha meyakinkan Reni, tetapi dia tetap saja bergeming bahwa habit akan tetap dibawa samapai mati. Benarkah?? Saya yakin, bisa! Apalagi dengan motivasi besar. Tapi sebesar apa? Saya yakin, banyak yang setuju, bahwa mengupil (ya, pun tidak pada tempatnya) bukanlah dosa. Jadi, satu-satunya motivasi yang cukup besar yang dimiliki Poltak untuk mengubah kebiasaan ngeselin yang satu ini adalah BESARAN CINTA. Kuantitas dan kualitas cintanya pada Reni. Saya berharap, Poltak berhasil. Ngeselin juga kalau dia harus kehilangan Reni –nya, hanya karena hobi yang kini dia benci itu. Dia mungkin bisa berkoar-koar bahwa samudera akan dia renangi, Himalaya akan dia daki, semua demi Reni. Kini, berhenti mengupil adalah samuderanya, Himalaya –nya.

Selamat berjuang, bro! Nanti jika berhasil, cepat curhat lagi! Buktikan bahwa Himalaya memang bisa ditahlukkan! Mulailah dengan mengumumkan pada semua orang untuk memukul tanganmu, ketika telunjukmu mulai mengarah pada sasaran. Siapa tahu teori mengubah perilaku dengan metode reward and punishment memang berhasil pada masalahmu.

-tagesi

2 komentar:

Anggriawan Sugianto mengatakan...

hah.. ini beneran kisah nyata bang??

ada-ada aja orang yang bikin kriteria pasangan hidup: ga ngupil.. hehehe..

semoga temen abang itu mengalami happy ending deh.. :D

tagesi mengatakan...

Hm, dia aja uda senyum-senyum baca post ini, apalagi baca komentarmu, he-he.

Moga-moga aja dia sukses!
btw, ada ga orang yang udah sukses ngubah perilaku ngupilnya? bantu dia dong, plis!